ERA JOKOWI: 'Kebodohan Kolektif Dinilai Sebagai Kebenaran'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Dalam sebuah dunia di mana kebodohan diagungkan sebagai bentuk cinta tanah air, di sanalah kecerdasan menjadi bahaya.
Seperti lilin yang mencoba menyala di tengah badai, pemikiran jernih dihujat, pertanyaan kritis dicap pengkhianatan, dan akal sehat dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas kekuasaan.
Kita hidup di zaman ketika penguasa yang diragukan kapasitasnya justru dielu-elukan sebagai pahlawan.
Jokowi, yang oleh Rocky Gerung disebut sebagai si dungu dan tolol, berdiri di puncak kekuasaan tanpa ketajaman visi, hanya dengan modal pencitraan dan pengendalian narasi.
Apa yang dahulu dianggap sebagai kebodohan kini diarak sebagai kebijaksanaan.
Apa yang dahulu disebut keberanian mengkritik, kini dikategorikan sebagai ancaman bagi persatuan.
Negara bukan lagi arena bagi akal sehat, tetapi panggung sandiwara di mana para aktor berpura-pura memimpin, sementara rakyat dipaksa percaya bahwa kemunduran adalah kemajuan.
Kebodohan bukanlah sekadar kekurangan ilmu, melainkan ketidakmampuan berpikir secara mendalam, ketidakmauan memahami realitas di luar ilusi yang diciptakan. Dan ironinya, semakin dungu seorang pemimpin, semakin ia dipuja.
Mengapa? Sebab kebodohan kolektif lebih nyaman daripada kecerdasan individual.
Pemikiran kritis menuntut tanggung jawab, sedangkan kebodohan menawarkan kenyamanan dalam ketundukan.
Artikel Terkait
Fakta Lengkap Kasus Bilqis & Suku Anak Dalam: Kronologi, Motif, dan 9 Pertanyaan Kunci Terjawab
ODGJ Klaim Nabi Picu Keributan dan Diusir dari Bus di Terminal Purabaya
Presiden Prabowo Janji Perjuangkan Kesejahteraan Rakyat, Tolak Kemiskinan di Abad 21
Selvi Ananda Tekankan Pentingnya PAUD untuk Fondasi Karakter, Bukan Akademik