Sritex Mati di Tangan Sang Anak: Gelapnya Nasib Industri dan Buruh!

- Minggu, 09 Maret 2025 | 07:15 WIB
Sritex Mati di Tangan Sang Anak: Gelapnya Nasib Industri dan Buruh!

PARADAPOS.COM - Kalau ekonomi Indonesia, baik-baik saja, tentunya tak banyak pabrik padat karya yang gulung tikar. 


Sehingga tak menggunung pula jumlah pekerja yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK). 


Bangkrutnya PT Sri Rejeni Isman (SRIL) Tbk atau Sritex, salah satu industri tekstil terbesar di Asia Tenggara, per 1 Maret 2025, mengejutkan banyak pihak.


Terutama generasi lawas yang tak asing dengan berbagai jenis kain buatan Sritex yang pabriknya berada di Sukoharjo, Jawa Tengah itu.


Sritex yang bermula dari sebuah usaha dagang (UD) Sri Redjeki di Pasar Klewer, Solo. Bisnis ini didirikan HM Lukminto pada 1966, tepatnya di era Soekarno.


Seiring waktu, usahanya sandang ini terus berkembang. Pada 1978, Lukminto atau Le Djie Shien, memberanikan diri membentuk perseroan terbatas (PT) ke Kementerian Perdagangan.


Di era Soeharto, tepatnya pada 1992, PT Sritex mengintegrasikan empat lini produksinya yakni, pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan garmen.


Kala itu, Presiden Soeharto bersama Ibu Negara Tien Soeharto berkesempatan untuk meresmikan pabrik Sritex. 


Ada tanda tangan Soeharto dalam prasasti pembentukan pabrik integrasi itu.


Dan, Ibu Tien sempat berkeliling pabrik guna melihat langsung proses produksi pabrik. Tentu saja, banyak sekali jumlah karyawan kala itu.


Kedekatan HM Lukminto dengan Soeharto, membuat Sritex kebanjiran order. 


Sekitar 1990, Sritex mendapat order kejutan berupa seragam militer dari Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), kini Tentara Nasional Indonesia (TNI).


Tak hanya jago kandang, Sritex pun sukses menembus oasar global. Pada 1997, Sritex meneken kontrak pembuatan seragam NATO dari Angkatan Perang Jerman.


Hingga 1998, pesanan seragam NATO mencapai sejuta peach stell (PS). Kontrak yang sama dilakukan Sritex dengan Angkatan Perang Inggris. Kala itu, Inggris pesan seragam 400.000 ps.


Papua Nugini ikutan pesan seragam polisi sebanyak 50.000 ps kepada Sritex. Demikian pula Kantor Pos Jerman memesan sejuta seragam.


Masa-masa itu, Sritex benar-benar kebanjiran rezeki nomplok. Tak kurang dari 30 negara pesan seragam militer kepada Sritex.


Selain menjadi raja 'seragam tentara', Sritex banyak pesanan produk tekstil lain. Pernah mengekspor benang dan kain ke 100 negara.


Dalam setahun, Sritex memproduksi 1,1 juta bal benang, 179,9 juta meter kain mentah, 240 juta yard kain berwarna, serta 30 juta potong pakaian jadi dan seragam. Sebagian besar barang tersebut dibuat di pabrik seluas 79 hektare di Sukoharjo.


Kini, seluruh capaian Sritex yang masuk lantai bursa pada 17 Juni 2013 dengan kode emiten SRIL itu, tinggal kenangan. 


Hancur di tangan kakak beradik Iwan Setiawan Lukminto dan Iwan Kurniawan Lukminto. Atau generasi kedua Lukminto. 


Musababnya, Sritex disandera utang sebesar Rp26,2 triliun. Dari kreditur separatis senilai Rp716,7 miliar dan kreditur konkuren sebesar Rp25,3 triliun.


Pada 2019 atau sebelum pandemi COVID-19, Sritex masih Berjaya dengan angka penjualan US$1,3 miliar, Naik 8,52 persen dibanding tahun sebelumnya. Dengan capaian laba bersih US$85,32 juta atau sekitar Rp1,2 triliun.


Setahun kemudian, kondisi berbalik seratus delapan puluh derajat. Penjualan terjun bebas menjadi US$847,5 juta. 


Beban pokok penjualan naik dari US$1,05 miliar menjadi US$1,22 miliar. Alhasil, Sritex mengalami tekor pertama kalinya sejak melantai di pasar modal pada 2013.


Sibuk Politik, Industri Terbengkalai


Sebelum Sritex gulung tikar pada 1 Maret 2025, mendiang ekonom senior, Faisal Basri sudah mengingatkan potensi kehancuran industri manufaktur nasional, khususnya tekstil.


Bukan hanya tekstil saja yang disorot, industri lain menyangkut manufaktur nasibnya di ujung tanduk. Selama ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dinilai gagal mengembangkan industri manufaktur.


Tidak usah muluk-muluk bicara pengembangan manufaktur, mempertahankan industri yang sudah ada saja, tak terlihat gebrakan dari Kemenperin.


"Banyak perusahaan bangkrut, bukan hanya keramik. Banyak yang bangkrut, tekstil bangkrut. Belum bisa pulih dari COVID-19, program restrukturisasinya sudah selesai, yang ndak bisa restrukturisasi ya sudah bangkrut, atau dijual murah," kata Faisal dalam Diskusi Publik di Jakarta, Selasa (16/7/2024).


Dia pun menyindir Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita yang terlihat lebih sibuk berpolitik ketimbang mengembangkan industri.


"Anda pernah dengar menteri perindustrian bikin pernyataan? Jarang dia, mungkin enggak banyak yang tahu siapa nama menteri perindustrian kita, siapa," tegasnya.


Saat itu, Faisal menyebut industri tanah air sedang limbung alias goyah. Dampaknya, nasib buruh semakin terancam pemutusan hubungan kerja alias PHK.


Kegundahan Faisal Basri benar. Jumlah industri yang bangkrut terus bertambah. Selain Sritex, PT Yamaha Music Indonesia serta PT Sanken Indonesia memutuskan untuk tidak beroperasi. Keduanya merelokasi usaha ke Jepang dan China.


Karena tutup berjemaah, angka pengangguran melejit cepat. Dari Sritex saja menyumbang 10.000 lebih pekerja yang kena PHK. Sedangkan Yamaha Music dan Sanken jumlah PHK-nya lebih dari 1.500 pekerja.


Ditambah lagi, dua pabrik sepatu di Tangerang, Banten yakni PT Adis Dimension Footwear dan PT Victory Ching Luh memilih tutup. Perusahaan ini terpaksa mem-PHK 4.000 karyawannya.


Senasib sepenanggungan, pabrik bulu mata di Garut, Jawa Barat, PT Danbi International gulung tikar. 


Halaman:

Komentar