'Mengapa Susi Pudjiastuti Menyerukan Pembubaran Kementerian Perdagangan?'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, kembali menggemparkan publik dengan cuitannya yang menyerukan pembubaran Kementerian Perdagangan.
Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa sejak dulu hingga kini pendapatnya tetap sama: kebijakan tata niaga yang berbasis kuota merusak industri dalam negeri dan merugikan petani serta penambak garam.
Pernyataan ini bukanlah tanpa dasar, melainkan berangkat dari pengalaman dan pengamatannya terhadap kebijakan perdagangan Indonesia yang dianggap lebih banyak menguntungkan segelintir pihak dibandingkan rakyat kecil.
1. Sistem Kuota dan Dampaknya terhadap Industri Lokal
Susi menyoroti bahwa tata niaga berbasis kuota membuka celah bagi praktik perburuan rente yang merugikan sektor produksi dalam negeri.
Kuota impor sering kali diberikan kepada pihak tertentu yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan, sehingga memunculkan monopoli dan menghambat kompetisi yang sehat.
Dalam banyak kasus, kebijakan ini justru membuat petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil semakin sulit bersaing karena produk impor membanjiri pasar dengan harga lebih murah.
Akibatnya, industri lokal tidak berkembang dan semakin bergantung pada impor.
Sebagai contoh, dalam sektor perikanan dan garam—dua bidang yang sangat dekat dengan kepemimpinan Susi di Kementerian Kelautan dan Perikanan—kebijakan impor yang tidak terkontrol membuat harga garam lokal jatuh dan melemahkan kesejahteraan petambak.
Ironisnya, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia justru masih bergantung pada garam impor.
Hal ini menunjukkan ketidakefektifan kebijakan tata niaga yang dikelola oleh Kementerian Perdagangan.
2. Kepentingan Oligarki dan Perburuan Rente
Salah satu alasan utama mengapa sistem kuota ini tetap bertahan adalah kepentingan oligarki yang mengendalikan jalannya perdagangan.
Dengan adanya kebijakan kuota, hanya pihak tertentu yang mendapatkan izin impor dalam jumlah besar, sementara pemain lain kesulitan untuk bersaing.
Alhasil, struktur pasar menjadi tidak sehat, di mana para produsen lokal tidak memiliki peluang yang setara.
Artikel Terkait
Roy Suryo: 99,9% Akun Kaskus Fufufafa Milik Gibran, Klaim 3.000 Ujaran Kebencian
Banjir Jakarta 2025: Penyebab & Kritik untuk Pramono Anung
Dukung Bareskrim! IPW Soroti Kerugian Negara Rp 1,08 Triliun dari Tambang Emas Ilegal di Lombok
Strategi Partai Perindo Dongkrak 130 Juta Warga Naik Kelas Ekonomi