Monolog Gibran: 'Strategi Citra atau Upaya Nyata Menarik Perhatian Publik?'
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka baru-baru ini mencuri perhatian publik lewat sebuah video monolog yang ia unggah di kanal YouTube pribadinya.
Dalam video tersebut, Gibran membahas isu strategis tentang bonus demografi di Indonesia.
Namun, langkah komunikasi politik ini memunculkan perdebatan: apakah video tersebut merupakan strategi komunikasi yang tulus atau sekadar pencitraan belaka?
Menurut Lili Romli, seorang peneliti senior dari Pusat Riset Politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), wajar bila sebagian masyarakat melihat video itu sebagai bagian dari pencitraan politik.
Dalam wawancara bersama media, Lili menyebutkan bahwa publik bisa saja membandingkan gaya bicara Gibran dalam video dengan penampilannya ketika berbicara secara langsung.
Ketika berbicara tatap muka, menurut Lili, Gibran belum menunjukkan performa komunikasi yang mengesankan.
“Gaya bicaranya di video terlihat lebih lancar, terstruktur, dan sistematis. Hal ini tentu menimbulkan kesan bahwa monolog tersebut disiapkan secara matang untuk membentuk citra tertentu,” ujar Lili.
Ia menambahkan, jika masyarakat menilai monolog itu tidak otentik, bisa jadi itu hanya dianggap sebagai angin lalu—hanya sekadar usaha membangun pencitraan politik, bukan komunikasi yang murni.
Strategi Aman di Tengah Tekanan Politik
Dalam konteks politik nasional yang penuh tekanan dan pengawasan publik, memilih bentuk penyampaian pesan lewat video monolog memang menjadi pilihan yang relatif aman.
Tidak ada interupsi, tidak ada potensi salah ucap secara spontan, dan yang terpenting: pesan bisa dikontrol sepenuhnya dari awal hingga akhir. Ini menjadi nilai tambah dari pendekatan yang dipilih Gibran.
Apalagi tema yang diangkat dalam monolog tersebut sangat relevan dengan masa depan Indonesia—bonus demografi.
Ini adalah isu besar yang menyangkut potensi jumlah penduduk usia produktif yang melonjak dan bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi nasional.
Gibran tampaknya ingin menyampaikan bahwa ia peduli dan memahami isu-isu strategis, terutama yang berkaitan dengan generasi muda.
Menurut Lili, ketika tema ini dikaitkan dengan gaya penyampaian yang rapi dan tertata, maka bisa muncul efek positif, terutama jika diterima baik oleh kalangan milenial dan Gen Z.
“Jika generasi muda merasa terwakili, tentu ini bisa menjadi modal sosial yang besar bagi Gibran, bahkan bisa membentuk landasan politik yang lebih kuat ke depan,” terang Lili.
Menjawab Peran Wapres yang Kerap Dianggap Pasif
Satu hal yang cukup menarik dari langkah Gibran ini adalah keberaniannya tampil aktif sebagai wakil presiden.
Secara umum, peran wapres seringkali dipandang pasif—lebih banyak menunggu instruksi dari presiden dan tampil bila diminta.
Namun, lewat monolog ini, Gibran tampak ingin memposisikan diri sebagai figur yang tidak hanya menunggu tugas, tetapi aktif membentuk wacana publik.
Lili menilai, keaktifan ini mencerminkan adanya keinginan Gibran untuk keluar dari bayang-bayang peran wapres yang konvensional.
“Dia terlihat ingin lebih terlibat dalam percakapan nasional dan menunjukkan bahwa dia juga punya gagasan. Ini sah-sah saja, asalkan tetap dalam batasan yang tepat,” kata Lili.
Artikel Terkait
KPK Diminta Periksa Jokowi dan Luhut, Diduga Ada Markup Proyek Kereta Cepat Whoosh
Perbaikan Jalur Rel Kaligawe Semarang 3-5 November 2025: Jadwal & Rute Alternatif
Petani di Lombok Barat Tewas Tersengat Listrik Saat Tebang Pohon Pisang, Ini Kronologinya
Ahmad Sahroni Sembunyi di Plafon Saat Rumah Dijarah Massa, Celana Dalam pun Raib