Ia adalah wakil presiden termuda dalam sejarah Indonesia—naik dengan dorongan politik dinasti dan keberpihakan lembaga yudikatif yang kontroversial.
Kehadiran Try dan Mega dalam satu ruangan dengannya bisa dibaca sebagai bentuk “pembingkaian ulang” terhadap narasi kekuasaannya.
Apakah Gibran akan membaca momen ini sebagai peringatan atau peluang refleksi? Itu pertanyaannya.
Namun yang jelas, Prabowo sedang menunjukkan kekuasaannya bukan hanya sebagai pemimpin negara, tetapi juga sebagai arsitek rekonsiliasi nasional.
Ia sedang memperlihatkan bahwa ia tidak berafiliasi semata pada satu keluarga politik, tetapi berdiri sebagai pemimpin yang mampu mempertemukan sejarah dengan masa depan.
Jika dibaca secara strategis, langkah Prabowo ini bisa berdampak pada banyak arah.
Pertama, ia memperkuat posisinya sebagai pusat gravitasi politik nasional.
Dengan merangkul Mega dan menyambut Try, ia menyatukan dua kekuatan yang potensial menjadi oposisi keras terhadap Gibran.
Kedua, ia menempatkan Gibran dalam posisi “politik magang”—di mana sang wakil presiden dipaksa belajar langsung dari sejarah dan senioritas.
Namun, langkah ini juga berisiko: apakah Gibran akan merasa dipojokkan?
Apakah ini awal dari upaya Prabowo untuk mengambil jarak dari keluarga Jokowi?
Apakah ini sinyal bahwa Prabowo sedang menyiapkan skenario transisi kekuasaan ke poros yang lebih luas—bukan semata pada garis trah keluarga Jokowi?
Dalam politik, simbol lebih tajam dari senjata. Dan Prabowo tahu betul bagaimana memainkan simbol.
Ia menghadirkan sejarah ke dalam ruang kekuasaan, bukan untuk mengutuk masa lalu, tetapi untuk menata masa depan.
Megawati dan Try Sutrisno bukan sekadar tokoh, mereka adalah penjaga moralitas politik yang dihadirkan kembali dalam arena kekuasaan untuk memberi pesan: kekuasaan harus tetap berpijak pada etika dan sejarah.
Maka, di Hari Lahir Pancasila, Prabowo bukan sekadar memperingati.
Ia sedang menulis ulang ulang babak sejarah, dengan tinta strategi dan pena simbolik. Dan Gibran?
Ia tidak bisa lagi sekadar menjadi penumpang, tetapi harus mulai memilih: apakah akan menjadi negarawan seperti Try dan Mega, atau sekadar pewaris kekuasaan yang kehilangan akar legitimasi. ***
Artikel Terkait
Ustaz Abdul Somad Bela Gubernur Riau Ditangkap KPK, Dampak & Analisis Politik
Syaikhona Muhammad Kholil, Guru KH Hasyim Asyari, Resmi Jadi Pahlawan Nasional
Rahma El Yunusiyah: Pahlawan Nasional 2025, Pelopor Pendidikan Perempuan Indonesia
Gus Dur dan Syaikhona Kholil Resmi Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional 2025