Nikel, China, dan Negara Dalam Dosa: Jokowi dan Jejak Kejahatan Global

- Senin, 09 Juni 2025 | 14:25 WIB
Nikel, China, dan Negara Dalam Dosa: Jokowi dan Jejak Kejahatan Global


Nikel, China, dan Negara Dalam Dosa: 'Jokowi dan Jejak Kejahatan Global'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


“Ia tak dinobatkan sebagai penjahat, tapi dunia telah mencatat bahwa jejak kekuasaannya dipenuhi skandal yang menyerupai persekongkolan tingkat tinggi.”


Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), konsorsium jurnalis investigasi lintas negara yang membongkar banyak kejahatan transnasional, bukan lembaga sembarangan. 


Tahun 2024, mereka mencatat nama Presiden Joko Widodo sebagai salah satu nomine “Person of the Year” untuk tokoh dengan pengaruh paling merusak terhadap upaya pemberantasan korupsi dan kejahatan terorganisasi.


Nama Jokowi masuk dalam daftar bergengsi—bukan karena prestasi, melainkan karena dosa strukturalnya terhadap hukum dan moralitas pemerintahan.


Alasan utama yang dilihat OCCRP adalah bagaimana di bawah kekuasaan Jokowi, terjadi pembiaran (atau bahkan keterlibatan aktif) dalam sistem yang memungkinkan perampokan kekayaan alam secara masif oleh jaringan oligarki tambang, khususnya yang berkaitan dengan ekspor nikel ilegal ke Tiongkok. 


Sebuah cerita lama yang berulang dalam format baru: kolonialisme tambang gaya modern, dengan istana sebagai pintu masuknya.


Indonesia sedang jadi incaran utama dalam pusaran geopolitik mineral kritis dunia. Dunia beralih ke energi hijau, dan nikel adalah emas barunya. 


Tapi di Indonesia, emas itu digali bukan untuk rakyat, melainkan untuk menggemukkan perut investor China dan lingkar dalam kekuasaan.


Investigasi OCCRP membuka tabir bagaimana negara tak hanya lalai, tapi justru memfasilitasi praktik ilegal. Ekspor nikel bernilai ribuan triliun rupiah mengalir deras tanpa kendali. 


Kapal-kapal tongkang dengan nama yang memancing tanda tanya—JKW dan Yuliana—diduga digunakan untuk mengangkut nikel secara ilegal dari Sulawesi ke smelter-smelter di kawasan industri milik China di Morowali dan Weda Bay. Nama-nama itu menyeret dugaan kepada orang-orang terdekat presiden.


Lebih dari 200 kapal tongkang tercatat tidak melalui sistem ekspor resmi, sebagian bahkan berlayar dengan manifes ganda. Ditengarai kuat ada tangan negara di balik pembiaran itu. 


Institusi yang mestinya menjaga kedaulatan ekonomi bangsa—Bea Cukai, Kementerian ESDM, bahkan TNI AL—diam membisu. 


Maka, ketika OCCRP menyebut “pembiaran sistemik atas praktik korupsi dan ekspor ilegal” sebagai alasan nominasi Jokowi, tudingan itu bukan tanpa dasar.


Di era Jokowi, China menjadi mitra strategis utama dalam investasi infrastruktur dan tambang. 


Tapi investasi itu datang dengan harga: pengabaian terhadap HAM, lingkungan, dan kedaulatan tenaga kerja. Ribuan tenaga kerja asing ilegal asal China masuk tanpa seleksi ketat. 


WNI hanya jadi buruh kasar di negerinya sendiri. Upah murah, kecelakaan kerja yang tak tercatat, dan eksploitasi tanpa perlindungan hukum menjadi kisah sehari-hari di kawasan industri yang dibanggakan Jokowi.


Yang terjadi di balik layar adalah kerja sama asimetris: Indonesia menyerahkan kekayaan dan pasarnya, sementara China mengatur tempo, teknologi, dan keuntungannya. 


Jokowi menyebutnya hilirisasi. Tapi dalam praktiknya, yang diolah bukan kesejahteraan rakyat, melainkan jaringan oligarki tambang.


Masuknya Jokowi dalam nominasi OCCRP bukan sekadar sindiran global, tapi alarm keras untuk demokrasi Indonesia. 


Bahwa seorang presiden aktif bisa masuk ke dalam radar organisasi pemberantasan kejahatan lintas negara adalah tamparan telak bagi narasi keberhasilan pemerintahannya.


Lebih menyakitkan, rakyat masih dibuai oleh citra populis: blusukan, potong rambut di gang sempit, dan selfie di pasar tradisional. 


Padahal, di balik semua itu, ada jejak panjang kekuasaan yang melukai hutan, menghancurkan laut, dan mencuri masa depan anak negeri.


Indonesia sedang digiring menuju negara predator—yang menghalalkan penjarahan demi pertumbuhan semu. 


Dunia sudah mencatat Jokowi, tak sebagai tokoh inspiratif, tapi sebagai simbol pengkhianatan terhadap integritas pemerintahan dan ekosistem bangsanya sendiri.


Kita tidak tahu apakah sejarah akan memaafkan. Tapi yang pasti, rakyat tak boleh diam. 


Nominasi OCCRP adalah peringatan. Jangan sampai negeri ini menjadikan pengkhianat sebagai pahlawan.


Tuhan, jika hari ini kami masih punya negeri, maka besok kami harus pastikan ia dipimpin oleh orang yang tak menjualnya.


Halaman:

Komentar