MIRIS! Warisan Era Jokowi: Utang Membengkak - Rakyat Miskin Meningkat

- Selasa, 10 Juni 2025 | 05:45 WIB
MIRIS! Warisan Era Jokowi: Utang Membengkak - Rakyat Miskin Meningkat


MIRIS! Warisan Era Jokowi: 'Utang Membengkak - Rakyat Miskin Meningkat'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Pembangunan di era Presiden Joko Widodo terasa begitu masif. 


Jalan tol membentang, bendungan dibangun, dan bandara bersolek dengan arsitektur futuristik. 


Namun di balik semua kemegahan itu, ada realitas muram yang terungkap dari laporan terbaru Bank Dunia: 194,6 juta warga Indonesia—atau hampir 7 dari 10 penduduk—masuk kategori miskin. Bukan oleh definisi lokal, tapi oleh standar global.


Bank Dunia baru saja memperbarui metode pengukuran kemiskinan dengan menggunakan data Purchasing Power Parity (PPP) tahun 2021. Hasilnya mengejutkan, sekaligus memalukan. 


Jika sebelumnya ambang batas kemiskinan untuk negara menengah seperti Indonesia adalah 6,85 dolar AS per hari, kini naik menjadi 8,30 dolar AS per hari. 


Dengan standar ini, mayoritas rakyat Indonesia ternyata tak mampu memenuhi kebutuhan hidup paling dasar.


Pemerintah, melalui Badan Pusat Statistik (BPS), buru-buru menjaga narasi. 


Mereka tetap bersandar pada metode lama: pendekatan kebutuhan dasar (Cost of Basic Needs). Menurut mereka, jumlah orang miskin hanya 24 juta jiwa. 


Angka ini tampak indah di atas kertas, apalagi ketika dibandingkan dengan utang yang terus menumpuk dan proyek-proyek infrastruktur yang terus digenjot.


Narasi Palsu Kemajuan


Sejak awal menjabat, Jokowi menempatkan pembangunan fisik sebagai poros utama kekuasaannya. 


Dari tol Trans-Jawa hingga megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN), pembangunan dijadikan etalase prestasi. Namun prestasi itu harus dibayar mahal. 


Utang pemerintah meroket dari Rp 2.600 triliun pada akhir 2014 menjadi lebih dari Rp 8.000 triliun pada pertengahan 2025.


Pembangunan fisik yang diagungkan nyatanya tak menyentuh akar masalah rakyat: daya beli yang lemah, harga bahan pokok yang tak terkendali, dan akses kesehatan serta pendidikan yang timpang. 


Proyek-proyek bernilai triliunan rupiah itu tidak otomatis mengangkat martabat warga yang hidup di bawah garis kemiskinan global. 


Jalan tol tak bisa dimakan. Bandara baru tak menurunkan harga beras. Dan istana di Kalimantan tak menyelesaikan persoalan pengangguran di kota-kota besar.

Halaman:

Komentar