Membaca Pikiran Roy Suryo: Imajinasi Pemakzulan Gibran

- Kamis, 12 Juni 2025 | 07:15 WIB
Membaca Pikiran Roy Suryo: Imajinasi Pemakzulan Gibran


Membaca Pikiran Roy Suryo: 'Imajinasi Pemakzulan Gibran'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Barangkali hanya Roy Suryo yang bisa membuat sesuatu yang semula dianggap guyonan warung kopi jadi topik layak meja parlemen. 


Ia menyulap rumor jadi tafsir konstitusi, menyatukan sinisme dengan statistik, dan mencampurkan satire dengan sumpah etika aristokrat Prancis: noblesse oblige. 


Dalam tulisan terbarunya, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga itu merangkum kemarahan sosial terhadap Wapres Gibran Rakabuming Raka menjadi semacam memorandum rakyat, lengkap dengan jalur institusional yang rumit menuju pemakzulan.


Sekilas, tulisan itu seperti skrip film politik: mulai dari konspirasi akun IG yang “tercyduk” mengikuti akun judi online, sampai persekongkolan diam-diam parlemen yang tengah reses. 


Namun, di balik kelugasan gaya bertutur Roy yang meledak-ledak dan penuh data, tampak satu hal yang lebih kuat dari sekadar kemarahan—sebuah hasrat untuk mengingatkan publik bahwa legitimasi kekuasaan yang cacat sejak awal, tetap cacat walau diselimuti popularitas dan protokol.


Roy menyinggung banyak hal, dari cacat etik dan hukum putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90, kejanggalan pada akun Kaskus “fufufafa” yang diduga milik Gibran, hingga nepotisme dalam lingkar keluarga yang katanya sudah menyentuh KPK. Tapi tentu saja, persoalan seserius pemakzulan tidak bisa berdiri hanya di atas ironi dan asumsi. 


Ia memerlukan landasan hukum yang kokoh, pembuktian tak terbantahkan, dan lebih penting lagi: keberanian politik yang saat ini sedang liburan panjang bersama para anggota DPR.


Namun Roy tahu betul, kekuatan tak selalu datang dari angka. Ia bermain di wilayah simbolik. 


Ketika ia menulis, “Wis wayah-e,” ia tidak sedang mengutip teks konstitusi, melainkan merapal mantra rakyat. 


Ia menarik ingatan kita pada 1998, saat suara-suara sumbang di jalan raya akhirnya menggoyang pilar-pilar kekuasaan yang dianggap abadi. 


Ini adalah taktik politik Roy yang khas: membawa suara elite ke telinga rakyat, dan suara rakyat ke ruang elite. 


Dua dunia yang selama ini dipisahkan pagar protokoler dan hashtag Instagram.


Secara politis, skenario pemakzulan Gibran nyaris mustahil. Komposisi DPR hasil Pemilu 2024 menjadikan Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus) menguasai sekitar 470 dari total 580 kursi—alias 81 persen parlemen dikuasai partai-partai pendukung pemerintah. PDIP, satu-satunya partai oposisi formal, berdiri sendirian dengan 110 kursi. 


Artinya, suara minoritas tak akan pernah cukup menggerakkan mesin impeachment, kecuali ada tsunami politik internal yang mengubah konstelasi dari dalam tubuh kekuasaan sendiri.


Tapi dalam politik Indonesia, logika seringkali kalah oleh gelombang. Roy tampaknya sedang menanam benih kesadaran, bukan hanya pada elite, tetapi lebih pada publik. 


Ia tidak sedang menuntut keputusan besok pagi, tetapi ingin menghidupkan kembali apa yang disebutnya sebagai “diskursus perbincangan waras.” 


Dalam era pasca-kebenaran dan budaya pengalihan isu, diskursus waras adalah barang langka. Maka ketika Roy bicara, publik, suka tidak suka, akan menoleh.


Ada satu hal yang layak dicatat dari narasi Roy: ia tidak menyalahkan Gibran secara personal sebagai anak presiden, tetapi menantang peran dan integritasnya sebagai Wakil Presiden yang katanya seharusnya menjunjung tinggi etika publik. 


Di sinilah Roy menyisipkan sindiran kultural: noblesse oblige, bahwa jabatan tinggi menuntut keluhuran, bukan sekadar keabsahan administratif atau perolehan suara. 


Ia menyindir bangsa ini yang terlalu mudah terpukau oleh pencitraan, lupa bahwa kepemimpinan bukan soal gaya, tetapi tanggung jawab moral.


Apakah tulisan Roy akan mengguncang singgasana kekuasaan? Mungkin tidak hari ini, tidak juga besok. 


Tapi sejarah negeri ini sudah terlalu sering membuktikan bahwa suara kecil, ketika dirawat dalam kesabaran dan logika publik, bisa berubah menjadi gelombang besar. 


Roy mungkin bukan pelaut utama dalam badai itu, tapi ia tahu persis arah angin bertiup.


Dan mungkin, justru di sanalah letak pentingnya tulisan ini: bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk mengingatkan. 


Bahwa kekuasaan, seberapapun kuatnya, selalu punya titik retak ketika melupakan satu hal: suara rakyat. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar