Membaca Pikiran Roy Suryo: 'Imajinasi Pemakzulan Gibran'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Barangkali hanya Roy Suryo yang bisa membuat sesuatu yang semula dianggap guyonan warung kopi jadi topik layak meja parlemen.
Ia menyulap rumor jadi tafsir konstitusi, menyatukan sinisme dengan statistik, dan mencampurkan satire dengan sumpah etika aristokrat Prancis: noblesse oblige.
Dalam tulisan terbarunya, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga itu merangkum kemarahan sosial terhadap Wapres Gibran Rakabuming Raka menjadi semacam memorandum rakyat, lengkap dengan jalur institusional yang rumit menuju pemakzulan.
Sekilas, tulisan itu seperti skrip film politik: mulai dari konspirasi akun IG yang “tercyduk” mengikuti akun judi online, sampai persekongkolan diam-diam parlemen yang tengah reses.
Namun, di balik kelugasan gaya bertutur Roy yang meledak-ledak dan penuh data, tampak satu hal yang lebih kuat dari sekadar kemarahan—sebuah hasrat untuk mengingatkan publik bahwa legitimasi kekuasaan yang cacat sejak awal, tetap cacat walau diselimuti popularitas dan protokol.
Roy menyinggung banyak hal, dari cacat etik dan hukum putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90, kejanggalan pada akun Kaskus “fufufafa” yang diduga milik Gibran, hingga nepotisme dalam lingkar keluarga yang katanya sudah menyentuh KPK. Tapi tentu saja, persoalan seserius pemakzulan tidak bisa berdiri hanya di atas ironi dan asumsi.
Ia memerlukan landasan hukum yang kokoh, pembuktian tak terbantahkan, dan lebih penting lagi: keberanian politik yang saat ini sedang liburan panjang bersama para anggota DPR.
Namun Roy tahu betul, kekuatan tak selalu datang dari angka. Ia bermain di wilayah simbolik.
Ketika ia menulis, “Wis wayah-e,” ia tidak sedang mengutip teks konstitusi, melainkan merapal mantra rakyat.
Ia menarik ingatan kita pada 1998, saat suara-suara sumbang di jalan raya akhirnya menggoyang pilar-pilar kekuasaan yang dianggap abadi.
Ini adalah taktik politik Roy yang khas: membawa suara elite ke telinga rakyat, dan suara rakyat ke ruang elite.
Dua dunia yang selama ini dipisahkan pagar protokoler dan hashtag Instagram.
Artikel Terkait
Modus Korupsi Proyek Kereta Cepat Whoosh: Mark Up Lahan hingga Jual Beli Tanah Negara
Bobibos Biofuel RON 98 dari Jonggol: Solusi BBM Murah Rp 4 Ribu Setara Pertamax Turbo
ESDM Ingatkan Aturan BBM ke Bobibos: Ekspansi SPBU Harus Penuhi Uji Kelayakan
Rahmah El Yunusiyyah: Pendiri Pesantren Putri Pertama di Asia Tenggara, Kini Pahlawan Nasional