Kalau Gibran Dimakzulkan: 'Siapa Yang Diuntungkan dan Dirugikan?'
Pemakzulan bukanlah dongeng demokrasi. Ia nyata, keras, dan bisa mengubah arah sejarah sebuah negara dalam semalam.
Wacana pemakzulan Gibran Rakabuming Raka putra Presiden Joko Widodo yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden terpilih---mengguncang percakapan publik, memecah opini, dan menguak berbagai lapisan persoalan dalam politik kekuasaan di Indonesia.
Topik ini bukan hanya soal konstitusi, bukan semata soal hukum, tetapi menyentuh akar persoalan yang lebih dalam: bagaimana kekuasaan diwariskan, bagaimana legitimasi dibangun, dan siapa yang akhirnya tersenyum jika satu pemain terjungkal.
Tulisan ini hanya ingin mengajak kamu menyelami lebih dalam, dengan pendekatan analisis yang tajam, menyajikan hal-hal baru yang jarang dibicarakan media arus utama.
Kita akan membedah potensi keuntungan dari sisi-sisi yang tidak terlihat, tanpa perlu berbelit dan tetap dalam bahasa yang ringan, mudah dimengerti, namun kaya makna.
Gibran, Kekuasaan, dan Warisan Politik yang Tak Pernah Netral
Ketika Mahkamah Konstitusi secara kontroversial membuka jalan bagi Gibran untuk maju sebagai calon wakil presiden melalui putusan batas usia yang dinilai 'tepat waktu', publik pun gaduh.
Tidak sedikit yang menilai ini bukan sekadar keberuntungan politik, melainkan desain kekuasaan yang terstruktur.
Bahkan Majelis Kehormatan MK sempat menyatakan adanya pelanggaran etik dalam proses putusan tersebut.
Inilah awal dari narasi "legitimasi yang cacat". Sejak itu, Gibran bukan hanya menjadi calon wakil presiden, tetapi juga simbol perdebatan antara moral politik dan kekuatan dinasti.
Dan ketika akhirnya dia terpilih, suara-suara tentang pemakzulan mulai bergema, meski belum secara formal menjadi wacana di parlemen.
Isunya bukan hanya apakah Gibran pantas dimakzulkan atau tidak, tetapi bagaimana hal ini mencerminkan wajah demokrasi Indonesia hari ini.
Apakah rakyat benar-benar punya suara, ataukah demokrasi sedang dibajak oleh kekuatan-kekuatan yang tak kasat mata?
Pemakzulan Arena Pertarungan Baru di Balik Layar Politik
Jika kamu berpikir pemakzulan hanya soal hukum, maka kamu belum melihat panggung sebenarnya.
Di balik segala perdebatan yuridis, pemakzulan selalu punya muatan politis yang besar.
Gibran, dengan segala simbolisme yang melekat padanya, menjadi sasaran empuk bukan hanya karena kasus etik, tapi karena ia adalah pintu masuk untuk menggoyang pusat kekuasaan yang lebih besar.
Inilah logika kasat mata yang belum banyak dibahas. Gibran bukan target akhir.
Ia adalah "pressure point" terhadap Jokowi. Jika Gibran tumbang, maka otoritas moral Jokowi pun ikut terkikis.
Dan itu menjadi senjata penting bagi lawan-lawan politik yang sejak lama ingin membatasi pengaruh Jokowi pasca-pemerintahannya.
Di sisi lain, ini juga pertarungan internal. Friksi dalam koalisi pemerintahan akan makin tajam jika Gibran benar-benar dimakzulkan.
Partai-partai yang selama ini bersatu karena Jokowi, bisa mulai saling cakar ketika posisi wakil presiden kembali jadi kursi kosong yang menggoda.
Jadi, jangan heran jika pemakzulan menjadi komoditas politik, bukan alat koreksi hukum.
Siapa yang Menang Jika Gibran Jatuh?
Pertanyaan ini jauh lebih kompleks dari sekadar menyebut satu nama atau satu partai.
Skenario pemakzulan akan membuka kotak Pandora yang bisa menghasilkan berbagai macam keuntungan dan jebakan.
Yang paling jelas tentu kelompok oposisi. Mereka akan mendapat amunisi baru untuk menyerang kredibilitas koalisi pemerintah, khususnya Jokowi dan Prabowo.
Artikel Terkait
Harga Pertamina Dex & Dexlite Naik 1 November 2025: Daftar Lengkap BBM Terbaru
KPK Selidiki Proyek Whoosh KCJB: Jokowi dan Para Menteri Bisa Dipanggil
Gempa Magnitudo 5.0 Guncang Kaimana Papua Barat, BMKG: Tidak Berpotensi Tsunami
Nanang Gimbal Dituntut 15 Tahun Penjara, Ini Kronologi Pembunuhan Sandy Permana