Kalau Gibran Dimakzulkan: Siapa Yang Diuntungkan dan Dirugikan?

- Kamis, 12 Juni 2025 | 14:15 WIB
Kalau Gibran Dimakzulkan: Siapa Yang Diuntungkan dan Dirugikan?

Bagi mereka, ini adalah kesempatan untuk membalik narasi: dari kalah di Pilpres menjadi menang secara moral dan legitimasi publik.


Namun, jangan lupakan kekuatan di dalam koalisi sendiri. Ada aktor-aktor yang selama ini diam, tapi menunggu momen seperti ini untuk memunculkan taring. 


Mereka bisa memainkan kartu Gibran untuk menegosiasikan ulang kekuasaan, bahkan mungkin mendorong kader mereka untuk menggantikan posisi wakil presiden jika kosong. Jangan lupakan sejarah: politik Indonesia tak pernah sepi dari manuver tikungan tajam.


Tapi yang paling menarik, adalah bagaimana masyarakat sipil memanfaatkan momen ini. 


Jika benar terjadi, pemakzulan Gibran bisa menjadi momentum untuk menguatkan kembali narasi etika politik. 


Ini bukan soal menjatuhkan anak presiden, tapi mengembalikan batas antara kekuasaan publik dan kepentingan keluarga. 


Masyarakat bisa menggunakan ini untuk menuntut reformasi dalam perekrutan pemimpin nasional, memperkuat MK, dan memperjelas aturan main dalam demokrasi kita yang masih muda.


Apa Dampaknya bagi Demokrasi Indonesia?


Jika kamu berpikir pemakzulan akan menyelamatkan demokrasi, pikirkan lagi. 


Segala proses politik yang bermuatan balas dendam, meski dibungkus dengan jargon etika dan hukum, berpotensi menciptakan preseden yang berbahaya. 


Bisa jadi hari ini pemakzulan dianggap sebagai tindakan berani, tapi besok bisa menjadi alat represi oleh kekuatan baru terhadap lawan politiknya.


Demokrasi kita sedang dalam ujian yang berat. Bukan karena satu orang bernama Gibran, tapi karena sistem yang memungkinkan lahirnya kekuasaan berdasarkan koneksi, bukan kompetensi. 


Dan ketika sistem itu tidak dibenahi, maka siapa pun yang menggantikan Gibran tidak akan membawa perubahan signifikan.


Yang kita butuhkan bukan sekadar memakzulkan, tetapi membenahi aturan main. 


Menuntut transparansi Mahkamah Konstitusi, memperkuat peran KPU dan Bawaslu, serta memastikan bahwa partai politik benar-benar mendidik kader, bukan sekadar menjual tiket kepada anak penguasa.


Apakah Gibran Layak Dimakzulkan atau Justru Jadi Korban?


Ini pertanyaan paling menyakitkan namun penting untuk dibahas. Di balik semua kontroversi, Gibran adalah anak muda yang sebenarnya punya potensi. 


Tapi ia masuk ke panggung besar bukan karena proses yang jernih, melainkan karena fasilitas kekuasaan. 


Ia bukan hanya produk sistem, tapi juga korban dari sistem itu sendiri.


Jika hari ini Gibran dimakzulkan, apakah itu benar-benar keadilan? Atau hanya pergantian aktor dalam drama kekuasaan yang sama? Kita harus jujur melihat bahwa Gibran memang menikmati jalur istimewa. 


Tapi dalam politik, mereka yang dinaikkan terlalu cepat seringkali dijatuhkan lebih cepat pula.


Gibran mungkin bukan pemimpin sempurna, tapi pertanyaan utamanya adalah: siapa yang menyiapkan jalurnya? Dan siapa yang akan menggunakan kejatuhannya untuk naik ke atas? 


Jika pemakzulan tidak disertai dengan reformasi sistem, maka kita hanya mengganti wajah tanpa menyentuh akar masalah.


Demokrasi Harus Diperjuangkan, Bukan Diwariskan


Isu pemakzulan Gibran bukan sekadar drama politik musiman. Ini adalah refleksi dari bagaimana kekuasaan bekerja di negeri ini, dan bagaimana rakyat harus terus waspada terhadap bentuk-bentuk baru dari manipulasi demokrasi.


Mungkin Gibran dimakzulkan, mungkin tidak. Tapi yang pasti, masyarakat harus lebih cerdas membaca dinamika politik. Jangan terjebak dalam narasi yang dibangun media atau elite. 


Lihat siapa yang bermain di belakang layar, dan tanyakan: apakah perubahan yang ditawarkan benar-benar untuk rakyat, atau hanya untuk mengganti pemain di meja kekuasaan?


Jika kita benar-benar ingin demokrasi tumbuh, maka yang harus dimakzulkan bukan hanya satu orang. 


Tapi seluruh sistem yang memungkinkan kekuasaan diwariskan tanpa proses yang adil. ***

Halaman:

Komentar