Di pihak lain, rakyat yang sudah kenyang ditipu selama 10 tahun oleh Jokowi mengatakan tanpa ada pihak lain pun Jokowi sudah merusak nama baiknya sendiri melalui kata dan tindakannya yang melawan kebenaran, keadilan, kepatutan dan moralitas yang berlaku umum.
Menggunakan logika Jokowi dan para pendukungnya bahwa tidak ada yang tidak politis bila berkaitan dengan Jokowi adalah usaha berkelit dan cuci dosa dari perkara pidana yang harus dihadapi.
Sudah tidak terhitung bukti yang menyeruak ke publik yang sudah tidaki bisa lagi dibantah.
Tak kurang dari mantan rektor UGM Prof Sofian Effendi memberikan fakta yang amat menyentak bahwa Jokowi tak pernah tamat dari program S1 Fakultas Kehutanan UGM.
Meskipun Prof Sofian menarik pernyataannya itu karena mendapatkan tekanan, tetapi publik yakin bahwa pernyataannya sebelum ditarik itulah kebenaran yang sesungguhnya.
Sebagai mantan rektor tentu Prof Sofian tidak sembarang bicara.
Diakuinya bahwa setelah melakukan penelusuran ke staf administrasi dan akedmik UGM, nama Jokowi tidak pernah ada dalam daftar yang tamat dari program sarjana Fakultas Kehutanan.
Kalaupun Jokowi pernah kuliah di fakultas tersebut, paling banter Jokowi mendapatkan gelar sarjana muda BSc yang memang masih berlaku pada tahun 1985-an, bukan gelar sarjana penuh Ir (insinyur).
Publik bertanya-tanya, bagaimana Jokowi dan pendukungnya sampai pada kesimpulan bahwa SBY dalang di balik kasus ijazah palsunya? Apakah mereka sudah mengantongi bukti yang tidak terbantahkan melalui jaringan penegak hukum yang masih dikuasai Jokowi di pemerintahan Prabowo?
Bila Jokowi dan pendukungnya tidak bisa membuktikan tuduhan itu, maka jelas ini kecerobohan dan blunder politik yang merugikan Jokowi yang semakin hari ruang geraknya semakin sempit.
Tuduhan Jokowi jelas memperluas medan pertempuran dengan membuat musuh baru.
Ini tentu gestur politik aneh yang cuma Jokowi dan pendukngnya yang paham.
Dalam perkembangan terbaru, Presiden Prabowo memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, dua orang yang dianggap diperkarakan oleh Jokowi sendiri melalui jaringan penegak hukum yang masih dikuasainya.
Abolisi dan amnesti ini dianggap sebagai menurunnya pengaruh Jokowi dan sinyal Prabowo semakin menjauh dari pengaruh Jokowi.
Dalam kondisi semakin terjepit dan menurunnya pengaruh, tetapi Jokowi justru membuat musuh baru, membuat publik bertanya-tanya.
Mengapa Jokowi melakukan ini? Kalau tidak sangat cerdas dengan perhitungan yang matang, tentu Jokowi sangatlah bodoh melakukan hal yang tabu dalam dunia politik.
Seharusnya Jokowi mencari sebanyak-banyaknya sekutu dan menghindari bahkan satu musuh pun.
Tapi itulah Jokowi, manusia dengan 1001 kontroversi, 1001 kebohongan, dan dosa yang tak terhitung.
Pikiran-pikiran normal dan sehat selama 10 tahun kekuasaannya menjadi tak berguna dan dinistakan, sementara pada saat yang sama dia melakukan normalisasi pikiran bodoh dan tindakan zalim.
Kini rakyat kecil mengenalnya sebagai presiden bansos. Bansos yang berasal dari kantong dan kebaikan Jokowi pribadi, bukan bansos yang berasal dari anggaran negara.
Tapi syukurlah 10 tahun di antara yang tersulit dalam sejarah republik berakhir sudah.
Kini kita minta Jokowi bertanggung jawab atas semua dosa dan kezalimannya, termasuk tudingan bahwa ijazahnya 100 persen palsu.
Biarlah kontroversi itu menjadi milik Jokowi dan pendukungnya karena toh sejarah jua yang akan menjadi saksi dan hakim terbaik.
Seaneh apa pun cara berpikir Jokowi, kita maklumi saja. Karena melalui itulah ia ingin dikenal publik.
Termasuk filosofi anehnya: seribu musuh terlalu sedikit, satu kawan terlalu banyak. ***
Artikel Terkait
Prabowo Instruksikan Pembatasan Game Online Usai Ledakan SMAN 72 Jakarta, Ini Alasannya
Kisah Tragis Ratu Sekar Kedaton: Diasingkan ke Manado Hingga Akhir Hayat
Sabrina Jodohkan Deddy Corbuzier dengan Riyuka Bunga, Respons Deddy Bikin Heboh
Kronologi Mengerikan! Hansip Atim Suhara Tewas Ditembak Maling Saat Patroli, Pelaku Kabur ke Lampung