KISAH Tersembunyi Soe Hok Gie dan Prabowo: Aktivis Bawah Tanah dan Sepatu Gunung

- Senin, 11 Agustus 2025 | 07:10 WIB
KISAH Tersembunyi Soe Hok Gie dan Prabowo: Aktivis Bawah Tanah dan Sepatu Gunung




PARADAPOS.COM - Prabowo Subianto, sebelum menjadi Presiden ke-8 RI, dikenal luas sebagai tentara. 


Tapi, yang tak banyak diketahui adalah, saat muda ia berteman akrab dengan aktivis legendaris Soe Hok Gie.


Soe Hok Gie sendiri, nama yang terpatri sebagai simbol perlawanan dan idealisme kaum muda terhadap ketidakadilan.


Sementara Prabowo, figur sentral dalam panggung militer dan politik Indonesia selama puluhan tahun.


Dua nama yang seolah berdiri di kutub berlawanan dalam sejarah bangsa.


Namun, tak banyak yang tahu, di balik citra mereka yang kontras, tersimpan sebuah kisah persahabatan yang unik, kompleks, dan berakhir tragis.


Gie adalah ikon generasi muda era 1960-an yang dengan lantang menentang kekuasaan Orde Lama.


Namun, di tengah gejolak pergerakannya, ia menjalin pertemanan dengan seorang anak muda yang kelak menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh di negeri ini: Prabowo Subianto.


Awal Mula Persahabatan di Gerakan Bawah Tanah


Kisah pertemuan mereka berawal pada awal 1960-an, di dalam sebuah gerakan rahasia yang bertujuan meruntuhkan rezim Soekarno.


Gerakan itu adalah Gerakan Pembaharuan Indonesia (GPI), yang dipimpin oleh ekonom terkemuka sekaligus ayah Prabowo, Prof Sumitro Djojohadikusumo.


Dibentuk pada 1961 oleh para aktivis Partai Sosialis Indonesia (PSI), GPI beroperasi secara senyap dengan markas yang terus berpindah-pindah.


Soe Hok Gie, kala itu mahasiswa Sejarah Universitas Indonesia, terlibat aktif di dalamnya.


Ia menjadi bagian dari unit CO 5, sebuah divisi yang bertugas menyusup ke kalangan cendekiawan dan mahasiswa.


Keterlibatannya inilah yang membawanya masuk ke dalam lingkaran dekat keluarga Sumitro, dan pada akhirnya, mempertemukannya dengan Prabowo.


Meskipun sembilan tahun lebih tua, Gie menemukan teman diskusi dalam diri Prabowo.


Prabowo, yang baru kembali ke Indonesia setelah bertahun-tahun menetap di Eropa, mulai menyerap semangat perjuangan Gie yang tanpa kompromi.


Sebaliknya, Gie melihat Prabowo sebagai sosok yang cerdas, namun terpisah dari kerasnya realitas kehidupan rakyat Indonesia.


Cermin Perbedaan: Cerdas Tapi Naif


Persahabatan mereka tidak selalu mulus, tapi diwarnai oleh perbedaan pandangan yang tajam, cerminan dari latar belakang mereka yang berbeda.


Gie, yang lahir dan besar di tengah gejolak sosial-politik, memahami bahwa perubahan menuntut lebih dari sekadar semangat.


Sementara Prabowo, yang tumbuh di lingkungan elite, memandang dunia dengan kacamata yang lebih idealis.


Perbedaan ini terekam jelas dalam catatan harian Gie.


Ia pernah skeptis terhadap ide Prabowo untuk sebuah proyek sukarelawan pembangunan.


Gie menganggapnya tidak realistis dan kurang persiapan.


“Prabowo cerdas, tapi ia masih sangat muda dan naif,” ungkap Gie dalam catatan harian yang dibukukan.


Dalam catatan lainnya, Gie menulis dengan lebih dalam.


“Bagi saya Prabowo adalah seorang pemuda (atau kanak-kanak) yang kehilangan horison romantiknya. Ia cepat menangkap persoalan-persoalan dengan cerdas, tapi naif. Mungkin kalau ia berdiam 2-3 tahun dan hidup dalam dunia yang nyata, ia akan berubah.”


Tulisan ini menunjukkan kasih sayang Gie, sekaligus kritiknya bahwa Prabowo perlu merasakan langsung denyut nadi perjuangan rakyat, bukan hanya membacanya dari buku atau mendengarnya dari ruang keluarga.


Pendakian Terakhir dan Kenangan Abadi


Di tengah hiruk pikuk politik Jakarta, Gie menemukan kedamaian di alam bebas.


Mendaki gunung bersama kawan-kawannya di Mapala UI menjadi pelariannya.


Pada Desember 1969, Gie merencanakan pendakian ke atap Jawa, Gunung Semeru.


Untuk pendakian itu, Prabowo meminjamkan sepatu gunungnya kepada sahabatnya.


Sebuah gestur pertemanan yang sederhana, namun menjadi penanda sebuah tragedi.


Gie tidak pernah kembali dari pendakian tersebut.


Ia meninggal dunia setelah menghirup gas beracun dari kawah Semeru, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27.


Sepatu gunung dari Prabowo menjadi saksi bisu perjalanan terakhir sang aktivis.


Kematian Gie meninggalkan luka mendalam, tidak hanya bagi Prabowo tetapi juga bagi satu generasi yang melihatnya sebagai suluh perjuangan.


Pemikiran-pemikiran tajamnya kemudian diabadikan dalam buku Catatan Seorang Demonstran yang terbit pada 1983, menjadi bacaan wajib bagi aktivis dan kaum muda yang mendambakan perubahan.


Sementara itu, Prabowo menapaki jalan hidup yang berbeda, dari militer hingga ke puncak kekuasaan politik.


Namun, bayang-bayang persahabatannya dengan Gie, seorang idealis yang mengkritiknya dengan tulus, barangkali turut membentuk cara pandangnya dalam mengarungi kompleksitas politik Indonesia.


Sumber: Suara

Komentar