Adhie mengatakan berkaca dari pergolakan kemarin terjadi demonstrasi pada tanggal 25-30 Agustus.
Demonstrasi bukan barang baru di negeri di Republik ini. Marilah kita perbaiki, kejadian lebih besar jangan terulang kembali.
Salam Satu Aspal: 'Rakyat Mati dan Jenderal Diam'
Dalam film “Naga Bonar” Deddy Mizwar secara satire pernah curhat pada sebuah patung. Ya, patung Jenderal di bilangang Dukuh Atas, Jakarta yang berdiri megah.
Sejarah selalu punya cara yang aneh untuk menandai dirinya sendiri.
Di negeri ini, bukan di istana, bukan di ruang rapat parlemen, bukan pula di kampus-kampus elit, melainkan di jalan raya rakyat mati menjadi martir. Tahun 1998, mahasiswa Trisakti gugur di Jalan Jenderal S. Parman, Grogol.
Setahun kemudian, bentrokan demi bentrokan pecah di Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Jenderal Gatot Subroto, hingga jalan-jalan lain yang diambil-alih mahasiswa dan rakyat.
Nama-nama jenderal yang pernah menjadi simbol perjuangan justru menjadi saksi bisu ketika rakyat ditembak, dihantam, dan dibungkam.
Kini, sejarah itu seakan berulang. Seorang pengemudi ojek online (ojol) tewas dilindas Baraccuda Brimob di jalan utama.
Peristiwa itu tidak hanya menyisakan darah dan duka, tetapi juga simbol-simbol yang tajam: seragam hijau ojol versus seragam hitam “ninja” Brimob. Sebuah tabrakan bukan sekadar fisik, melainkan tabrakan kelas, tabrakan makna, tabrakan sejarah.
Seragam sebagai Simbol: Hijau Ojol vs Partai Cokelat
Seragam ojol adalah lambang rakyat kecil di era digital: pekerja lepas, bergantung pada aplikasi, menggantungkan hidup pada orderan yang datang tak menentu.
Mereka adalah wajah baru proletariat urban. Seragam hijau itu membawa pesan: kesetiaan pada keluarga, perjuangan di jalan, dan pengorbanan sehari-hari demi sesuap nasi.
Berhadapan dengan itu, seragam Brimob adalah lambang negara yang bersenjata.
Disiplin, tegas, namun sering kali kaku dan brutal. Di balik seragam hitam itu ada legitimasi hukum, tapi juga ada bayang-bayang kekuasaan yang sering melindas rakyat yang justru harus dilindungi.
Saat roda Baraccuda menghancurkan tubuh seorang ojol, yang hancur bukan hanya jasad seorang manusia, melainkan martabat seluruh rakyat jelata.
Di jalanan Para Jenderal: Ironi Sejarah yang Berdarah
Ada ironi besar di negeri ini: rakyat kecil selalu mati di jalan-jalan yang namanya diambil dari para jenderal.
Jalan Jenderal S. Parman, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Jenderal Gatot Subroto—semua nama besar itu seolah menjadi panggung di mana darah rakyat tumpah.
Jenderal-jenderal yang namanya diabadikan di jalan raya adalah mereka yang pernah melawan penjajahan, pernah dipuja sebagai pahlawan.
Namun, apa artinya nama besar itu jika di atas aspal yang menyandang nama mereka, rakyat kembali menjadi korban represi? Jalan-jalan itu menjadi paradoks: monumen untuk pahlawan, tapi sekaligus kuburan tanpa nisan bagi rakyat jelata.
Kelahiran Revolusi: Dari Mahasiswa ke Ojol
Revolusi di Indonesia tidak lahir dari pidato manis di parlemen, melainkan dari darah yang tercecer di jalan raya.
Mahasiswa Trisakti gugur di Jalan Jenderal S. Parman, lalu meledaklah Reformasi 1998. Kini, ketika seorang ojol dilindas Baraccuda di Jalan Jenderal Gatot Subroto, jalan utama, sejarah membuka lagi babak baru: rakyat jelata sebagai martir.
Mahasiswa dulu adalah simbol suara nurani bangsa. Kini, ojol adalah simbol rakyat pekerja yang tak lagi punya ruang aman, bahkan di jalan raya yang seharusnya menjadi ruang publik.
Ketika ojol mati dilindas kendaraan perang negara, itulah tanda bahwa kontrak sosial sudah koyak. Negara bukan lagi pelindung rakyat, melainkan predator yang siap menggilas siapa pun.
Dari Jalan Raya Menuju Revolusi
Setiap perlawanan besar selalu lahir dari simbol kecil yang diremehkan. Seorang tukang roti di Tunisia yang membakar dirinya memicu Arab Spring.
Seorang sopir ojek online yang mati dilindas Baraccuda bisa jadi api yang menyulut Revolusi Indonesia baru.
Karena di balik seragam hijau ojol ada jutaan rakyat kecil yang menahan lapar. Di balik roda Baraccuda ada negara yang semakin buta dan tuli.
Dan di balik nama-nama jalan jenderal yang membisu ada pertanyaan: untuk siapa republik ini berdiri, jika rakyat terus mati di jalan raya?
Maka jangan heran, jika dari darah seorang ojol lahir Revolusi. Bukan karena rakyat suka kekacauan, melainkan karena negara sendiri yang mengajarkannya: bahwa hidup rakyat murah, bahwa jalan raya bukan untuk mereka, bahwa keadilan hanyalah retorika.
Dan ketika rakyat sadar akan semua itu, tak ada lagi yang bisa menahan arus sejarah. Revolusi akan dimulai di jalan raya. ***
Artikel Terkait
Pengusaha Pekalongan Rugi Rp 2,6 Miliar! Modus Tipu Janjikan Anak Masuk Akpol Jalur Khusus
KPK Endus Tambang Emas Ilegal Milik Pengusaha China di Dekat Sirkuit Mandalika, Begini Faktanya!
Anak Menkeu Sindir Demo Mahasiswa: Dibayar, Nanti Jadi Tersangka Korupsi!
Bertarung dengan 3 Harimau, Kisah Pencari Damar di Inhu yang Selamat dari Maut