Sebagai wakil presiden termuda, Gibran hadir dengan citra segar: muda, sederhana, spontan, bahkan kadang dipersepsikan “lugu.”
Citra ini dengan cepat mengundang simpati publik, terlebih dalam era media sosial yang menyanjung kesan instan ketimbang analisis substansial.
Tetapi di sinilah bahayanya: jangan sampai publik kembali terperangkap pada wajah polos, sementara kemampuan kepemimpinan belum teruji.
Media sosial, dengan banjir konten dangkalnya, memperkuat risiko ini.
Debat capres 2024 memberi contoh: publik lebih banyak memperbincangkan ekspresi wajah, intonasi, atau gestur kandidat ketimbang isi gagasan.
Meme politik beredar lebih cepat daripada analisis kebijakan.
Fenomena ini melahirkan apa yang bisa disebut sebagai rot brain effect: publik kehilangan kapasitas reflektif akibat paparan terus-menerus pada konten banal.
Jika fenomena “plonga-plongo” terulang pada Gibran, maka bangsa ini kembali masuk ke dalam lingkaran politik sandiwara.
Wajah sederhana dan citra lugu mungkin memikat hati, tetapi tidak cukup untuk membawa arah baru bagi republik.
Pelajaran dari Jokowi harusnya jelas: politik tidak boleh berhenti pada level tontonan.
Publik berhak menuntut pemimpin yang tidak hanya sederhana dalam gaya, tetapi juga cerdas dalam strategi, tajam dalam visi, dan tegas dalam komitmen.
Gibran, sebagai generasi baru, seharusnya diuji pada substansi, bukan sekadar dipuja karena citra.
Maka, judul esai ini adalah sebuah pengingat: “Jokowi ‘Plonga-plongo’ Jangan Sampai Terulang pada Gibran.”
Sebuah peringatan agar demokrasi tidak kembali jatuh pada jebakan politik sebagai drama, penuh tepuk tangan dan sorakan, tetapi kosong dari isi. ***
Artikel Terkait
Modus Baru Pencurian Motor di Sekolah: Pura-pura Tanya Guru di SDN Lebak
Gus Ipul Gelar Doa Bersama Pemulung Bantargebang, Ajak Kenang Pahlawan Bangsa & Keluarga
Bandar Narkoba Muara Enim Diciduk, 97 Gram Sabu dan 150 Pil Ekstasi Diamankan Polisi
BMKG dan BNPB Modifikasi Cuaca Cegah Banjir Jakarta, Jabar, Jateng