Jokowi Masuk Klub Bloomberg: Kapitalisme Global Sedang Menertawakan Kita!

- Jumat, 26 September 2025 | 12:35 WIB
Jokowi Masuk Klub Bloomberg: Kapitalisme Global Sedang Menertawakan Kita!

PARADAPOS.COM - Penunjukan Joko Widodo sebagai anggota Advisory Board Bloomberg New Economy sontak menjadi berita. 


Banyak media arus utama menyorotinya dengan nada kagum. Seolah-olah inilah bukti pengakuan dunia terhadap “prestasi” Jokowi selama dua periode menjabat Presiden RI. 


Pertanyaannya: benarkah demikian? Atau justru ada motif lain yang lebih dalam, lebih kelam?


Jika ditelaah, sesungguhnya agak janggal bila Bloomberg merekrut Jokowi. Dari sisi kapasitas, Jokowi jelas bukan ahli ekonomi. Bahasa Inggrisnya terbata-bata. Wawasan internasionalnya pun terbatas. Prestasi akademik? 


Lebih parah lagi. Ijazah S1-nya diduga palsu. Jadi, jika ukurannya kompetensi, mustahil Bloomberg kekurangan stok ekonom kelas dunia. 


Di luar sana bertebaran ekonom top, teknokrat ulung, dan mantan kepala negara dengan reputasi akademik mentereng. Lalu, mengapa Jokowi?


Untuk konteks, perlu dipahami dulu apa itu Bloomberg New Economy. Lembaga ini lahir dari inisiatif Michael Bloomberg, taipan media sekaligus mantan wali kota New York. 


Ia membangun forum elite global yang mempertemukan pengusaha, investor, politisi, dan akademisi untuk membicarakan arah ekonomi dunia. 


Anggotanya terdiri atas pemimpin perusahaan multinasional, pejabat tinggi negara, serta figur-figur strategis dari berbagai belahan dunia. Singkatnya, ini adalah “klub eksklusif” para pengendali kapitalisme global


Jadi, sangat jelas: penunjukan keanggotaan tidak melulu didasarkan pada kapasitas akademik atau keilmuan. Mereka justru direkrut lebih pada nilai politis dan manfaat strategis bagi jejaring kapital.


Asumsi yang Dipaksakan


Ada beberapa analisis yang berseliweran. 


Pertama, Jokowi dipandang sebagai figur simbolik dari Asia Tenggara, ikon negara berkembang yang “sukses” membawa stabilitas. 


Kedua, Jokowi dianggap bisa membuka pintu bagi kepentingan kapital global di Indonesia, negeri dengan sumber daya alam luar biasa. 


Ketiga, penunjukan itu sekadar bentuk balas jasa atas kiprah Jokowi selama sepuluh tahun mengistimewakan investor asing, oligarki, dan pasar global.


Namun, mari kita patahkan satu per satu. Jokowi sebagai simbol Asia Tenggara? Rasanya terlalu jauh. 


Citra Jokowi di dalam negeri justru terpuruk. Ia membiarkan korupsi merajalela, menumpuk utang ribuan triliun berbunga sangat tinggi.


Jokowi juga membiarkan harga pangan naik, menelantarkan petani, dan menggadaikan kedaulatan bangsa kepada asing. Simbol macam apa yang dipilih Bloomberg?


Jokowi sebagai pintu akses ke sumber daya Indonesia? Lagi-lagi, terlalu dipaksakan. Jokowi memang sempat memberi karpet merah kepada investor asing. 

Halaman:

Komentar