Ia merancang UU Cipta Kerja yang super pro-investor, memuluskan proyek IKN yang sarat kepentingan kapital, dan membiarkan oligarki menguasai tambang serta hutan. Tetapi, masa jabatan Jokowi sudah habis. Kini ia bukan siapa-siapa lagi.
Kontrolnya terhadap kebijakan dalam negeri sudah lepas. Jadi, logika menjadikan Jokowi sebagai “gerbang” terasa basi.
Tinggal satu asumsi yang tampak paling masuk akal: Bloomberg memberi Jokowi kursi itu semata-mata balas jasa.
Selama sepuluh tahun, Jokowi begitu ramah terhadap kapitalisme global. Ia menerbitkan berbagai regulasi untuk kepentingan investor, bukan rakyat.
Finalis “koruptor dunia” versi OCCRP ini doyan menyingkirkan oposisi, melanggengkan oligarki, dan membuka keran sumber daya alam untuk asing. Semua itu tentu sangat menguntungkan jaringan kapital global.
Wajah Asli Kapitalisme Global
Tetapi sekali lagi, untuk apa Bloomberg repot-repot memberi balas jasa kepada sosok yang kini justru dihujat rakyatnya sendiri? Jokowi keluar dari Istana dengan warisan penuh noda.
Ia gagal mewujudkan janji-janji kampanye. Ia meninggalkan rakyat dalam pusaran krisis pangan, energi, dan lapangan kerja.
Jokowi menodai demokrasi dengan meloloskan Gibran sebagai wakil presiden melalui rekayasa Mahkamah Konstitusi.
Dalam pandangan publik, Jokowi lebih layak dicatat sebagai presiden dengan rekam jejak penuh kejahatan politik dan ekonomi.
Jadi, jika Bloomberg masih menaruh Jokowi dalam barisan penasihat, itu justru memperlihatkan wajah asli kapitalisme global.
Sistem ini memang tidak peduli dengan reputasi moral. Yang penting, ada jejak pengabdian kepada pasar, kepada modal, kepada kepentingan segelintir elite global.
Karena itu, penunjukan Jokowi sebaiknya tidak perlu dibanggakan rakyat Indonesia.
Justru sebaliknya, inilah cermin betapa kentalnya hubungan mesra antara rezim Jokowi dengan kapitalisme global. Bloomberg tidak sedang mencari pemikir jenius atau negarawan ulung.
Bloomberg hanya sedang merangkul salah satu “mantan petugas” mereka yang sudah berjasa menjaga kepentingan kapital selama satu dekade terakhir.
Jadi, apa arti Jokowi masuk ke Advisory Board Bloomberg New Economy? Bukan prestise, bukan kebanggaan. Ia hanyalah tanda bahwa kapitalisme global sedang menertawakan kita.
Mereka sedang memamerkan: lihat, bahkan pemimpin yang dicaci maki rakyatnya pun tetap bisa kami parkir di lingkaran elite global.
Dan itulah wajah asli kapitalisme: sistem busuk yang hanya menghargai kepatuhan pada pemilik modal, bukan keberpihakan pada rakyat.
Sumber: LiraNews
Artikel Terkait
Bobibos Biofuel RON 98 dari Jonggol: Solusi BBM Murah Rp 4 Ribu Setara Pertamax Turbo
ESDM Ingatkan Aturan BBM ke Bobibos: Ekspansi SPBU Harus Penuhi Uji Kelayakan
Rahmah El Yunusiyyah: Pendiri Pesantren Putri Pertama di Asia Tenggara, Kini Pahlawan Nasional
Cara Menulis Artikel SEO yang Optimal: Panduan Lengkap untuk Pemula