"Naluri Jokowi sebagai seorang ayah dan politisi ulung mendorongnya untuk tetap melakukan 'jap-jap kecil' meskipun sudah tidak menjadi 'petinju' aktif, yang ditujukan bukan untuk netizen melainkan untuk elit politik," jelasnya.
Pesan di baliknya bisa dibaca sebagai sebuah peringatan: "Jangan main-main dengan Gibran, karena yang kalian hadapi adalah saya (Jokowi)."
Ini adalah cara Jokowi untuk memastikan pengaruhnya tetap relevan dan Gibran tetap aman di lingkar kekuasaan.
Namun, di sinilah letak masalah yang lebih besar.
Yunarto menyebut fenomena ini sebagai puncak dari "miskalkulasi politik" yang telah dilakukan Jokowi sejak beberapa tahun terakhir.
"Mas Toto berpendapat bahwa Jokowi mengalami miskalkulasi politik, bukan hanya terkait hubungannya dengan PDIP, tetapi juga karena meninggalkan orang-orang yang mendukungnya sejak awal dengan kepentingan yang lebih sedikit," ungkap Yunarto.
Miskalkulasi ini, menurutnya, bereskalasi ketika Jokowi mendorong Gibran menjadi cawapres melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kontroversial.
Kini, Jokowi seakan terpaksa menghabiskan sisa-sisa pengaruhnya untuk terus melindungi Gibran, sebuah situasi yang ironis.
Yunarto pun menyayangkan jika citra akhir Jokowi di masa purnatugasnya nanti justru lekat dengan urusan politik praktis anaknya, bukan dikenang karena warisan pembangunannya sebagai presiden dua periode.
"Mas Toto menyayangkan jika Jokowi harus menghabiskan masa pensiunnya dengan terus terlibat dalam politik praktis dan mengurusi isu anaknya, bukan dikenang karena legasinya," pungkasnya.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Krisis PBNU: Ancaman PBNU Tandingan & Desakan Muktamar Luar Biasa
Komisi III DPR Tolak Usulan Kapolri Dipilih Langsung Presiden: Alasan & Dampaknya
Pembalakan Liar di Sumatera Diduga Picu Banjir Bandang, Desakan Tangkap Korporasi Menguat
Dasco vs Sjafrie: Sinergi Dua Penopang Utama Pemerintahan Prabowo, Bukan Rivalitas