Target Utama: Mineral Kritis untuk Transisi Energi
Kongo memegang kunci rantai pasokan global masa depan, dengan lebih dari 50% cadangan kobalt dunia (kunci untuk baterai kendaraan listrik), serta tantalum, lithium, dan tembaga. Dengan perjanjian ini, AS berupaya membangun dominasi di hulu rantai pasokan, mengamankan akses eksklusif yang dapat menjadi pengungkit geopolitik dalam persaingan teknologi hijau abad ke-21.
Risiko bagi Kedaulatan dan Stabilitas Kongo
Bagi Pemerintah Kongo pimpinan Presiden Tshisekedi, transaksi ini mengandung risiko tinggi:
- Hilangnya Kedaulatan Ekonomi: Keterikatan industri strategis dan infrastruktur vital dengan kekuatan asing dapat membatasi otonomi kebijakan nasional.
- Perdamaian Parsial: Intervensi AS berisiko hanya menciptakan "pulau keamanan" di sekitar area pertambangan, tanpa menyelesaikan akar konflik yang kompleks di timur Kongo. Penyederhanaan konflik hanya sebagai masalah "dukungan Rwanda kepada pemberontak" mungkin hanya mengobati gejala, bukan penyebabnya.
Kesimpulan: Diplomasi dengan Dua Wajah
Perjanjian 4 Desember 2025 merepresentasikan bentuk baru diplomasi sumber daya. Di balik retorika perdamaian dan pembangunan, tersimpan pertarungan keras untuk menguasai mineral kritis yang akan mendorong ekonomi masa depan. Bagi Kongo, tantangannya adalah memastikan kemitraan ini membawa pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, bukan sekadar pola eksploitasi baru yang menyamar sebagai bantuan internasional.
Artikel Terkait
Bencana Ekologis Sumatera: Komisi IV DPR Soroti Kerusakan Hutan dan Banjir Kayu Gelondongan
Viral Video Zita Anjani Bersihkan Rumah Korban Banjir, Dikritik Netizen Pencitraan?
Banjir Bandang Aceh: Analisis Jatam Tautkan Konsesi HTI Prabowo dengan Kerusakan DAS
Kronologi Lengkap Kasus Meninggalnya Dosen Untag Semarang: Pengakuan AKBP Basuki di Sidang KKEP