Lebih lanjut Dwikorita mengungkapkan, interaksi darat-laut telah menjadi pendorong utama karakteristik cuaca-iklim. ENSO dan IOD telah menjadi faktor yang menonjol karena posisi geografis Indonesia yang berada di antara dua benua dan dua samudera, yaitu Samudera Hindia dan Pasifik.
Selain itu, aktivitas Arus Lintas Indonesia (Indonesian Through Flow) juga turut mempengaruhi kondisi cuaca dan iklim di Indonesia.
"Selama tiga tahun terakhir, Indonesia mengalami Triple-Dip La Nina yakni pada tahun 2020-2022. Sementara, di tahun 2023 ini, Indonesia menghadapi kekeringan yang cukup parah yang disebabkan oleh El Nino yang kuat. Indonesia mengajak seluruh negara untuk berkolaborasi melakukan pengamatan laut guna mengatasi tantangan perubahan iklim. Mengingat Pemantauan laut dan pesisir membutuhkan biaya yang besar, sehingga membutuhkan kemitraan di luar sektor publik untuk pengamatan laut yang berkelanjutan," ungkap Dwikorita.
Ketersediaan data dan informasi yang akurat mengenai laut menjadi salah satu bentuk mitigasi dampak perubahan iklim.
Dengan data tersebut, negara-negara di dunia dapat menjadikannya sebagai acuan dalam merumuskan berbagai kebijakan guna mengantisipasi dan meminimalisir risiko yang ditimbulkan dari perubahan iklim itu sendiri. √
Artikel asli: satuarah.co
Artikel Terkait
Bobibos Biofuel RON 98 dari Jonggol: Solusi BBM Murah Rp 4 Ribu Setara Pertamax Turbo
ESDM Ingatkan Aturan BBM ke Bobibos: Ekspansi SPBU Harus Penuhi Uji Kelayakan
Rahmah El Yunusiyyah: Pendiri Pesantren Putri Pertama di Asia Tenggara, Kini Pahlawan Nasional
Cara Menulis Artikel SEO yang Optimal: Panduan Lengkap untuk Pemula