Seolah-olah bangsa ini amnesia. Seolah-olah nalar publik bisa dibeli dengan retorika dan baliho.
Gibran tidak sedang memimpin. Ia sedang diseret. Ia bukan tokoh dengan gagasan, tapi produk dari rekayasa politik.
Dan tanpa ia sadari, langkah-langkahnya menjadi bahan tertawaan—bukan karena dia lucu, tapi karena sistem yang membawanya ke sana begitu buruk.
Ia dijadikan simbol betapa murahnya marwah kekuasaan di negeri ini.
Di warung kopi, di forum akademik, di linimasa media sosial—Gibran adalah bahan cemooh. Ia ditertawakan oleh rakyat yang sudah muak.
Tapi yang lebih menyakitkan: di balik tawa itu tersembunyi rasa getir. Bangsa ini seperti ditampar berkali-kali, lalu diminta tersenyum.
Jika Jokowi membayangkan akan dikenang sebagai bapak pembangunan, sejarah mungkin akan mencatat hal lain.
Ia akan dicatat sebagai presiden yang membuka pintu lebar bagi dinasti politik, membonsai demokrasi, dan membiarkan logika kepemimpinan dijajah oleh kepentingan keluarga.
Apakah bangsa ini sedang dibodohi? Jawaban itu tak lagi perlu ditanya. Yang lebih penting: sampai kapan rakyat akan diam?
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Pelaku Pengibar Bendera GAM di Lhokseumawe Diamankan Bawa Senpi Colt M1911 dan Sajam
Kebijakan Jokowi dan Dampak Karpet Merah untuk WN China di Indonesia: Analisis Lengkap
Bripda Muhammad Seili Tersangka Pembunuhan Zahra Dilla: Motif Cinta Segitiga & Kronologi Lengkap
Gempa Agam Sumbar M 4.7 Hari Ini: Pusat, Kedalaman & Dampak Terkini 2025