Gibran memang menekankan bahwa pengenalan dilakukan secara "sederhana", seperti membuat grafis lucu atau menyelesaikan soal matematika dengan AI.
Namun, tanpa pendidikan yang menekankan nalar, verifikasi fakta, dan keterampilan problem solving mandiri, pembiasaan ini bisa memperdalam ketergantungan kognitif pada mesin di usia-usia yang justru krusial untuk pembentukan karakter berpikir kritis.
Lebih jauh lagi, pada usia PAUD hingga SD, tahap perkembangan kognitif anak-anak belum optimal untuk memahami konsep abstrak seperti bias algoritma, akurasi informasi, atau batasan teknologi.
Mengajari mereka "prompting" tanpa membekali mereka kerangka berpikir evaluatif, sama saja menanamkan budaya instan tanpa daya refleksi.
"Menariknya, meskipun AI dapat meningkatkan efisiensi, AI juga dapat mengurangi keterlibatan kritis, terutama dalam tugas rutin atau tugas dengan tingkat risiko rendah di mana pengguna hanya mengandalkan AI," tulis studi tersebut lebih lanjut.
Kritik utama terhadap wacana ini bukan pada niat untuk mengenalkan teknologi, melainkan pada ketidakseimbangan pendekatan: mempercepat adopsi AI tanpa mempercepat juga pendidikan berpikir kritis dan literasi etika digital.
Jika Indonesia ingin "membumikan" AI secara bertanggung jawab, maka pendidikan literasi digital yang kritis dan etis harus menjadi fondasi utama sebelum keterampilan teknis dikenalkan, terutama untuk pelajar muda.
Tanpa itu, kita hanya mencetak generasi pengguna teknologi yang canggih di permukaan, tapi rentan terhadap manipulasi, informasi palsu, dan kehilangan kemampuan berpikir mandiri.
Sumber: Inilah
Artikel Terkait
Banjir Bandang Keerom Papua Hanyutkan Ribuan Kayu Gelondongan, Jembatan Putus: Analisis & Fakta
Profil Suyudi Ario Seto dan Isu Kedekatan dengan Shandy Aulia: Kronologi & Fakta Terbaru
Kepala BGN Bermain Golf Saat Bencana: Kritik Empati dan Desakan Mundur
Wali Kota Medan Tarik Bantuan 30 Ton Beras UEA: Alasan & Dampak Bagi Korban Banjir