Terpisahnya Pengetahuan Dari Kepentingan

- Senin, 26 Mei 2025 | 03:35 WIB
Terpisahnya  Pengetahuan Dari Kepentingan


“Sekulerisme menegasikan pemisahan kepentingan agama dengan negara tetapi bukan dengan ilmu pengetahuan”

Dalam tradisi pemikiran Yunani Purba terjalin pertautan  erat antara teori dan praxis hidup manusia sehari-hari mengacu pada cita-cita etis, seperti kebaikan, kebijaksanaan atau kehidupan sejati, baik secara individual maupun secara kolektif, di dalam polis (negara kota). Dalam tradisi tersebut pemahaman mengenai pengetahuan tertuang dalam istilah bios theoretikos--- suatu bentuk kehidupan, suatu “jalan” untuk mengolah dan mendidik jiwa dengan membebaskan manusia dari perbudakan oleh doxa (pendapat) dan dengan jalan itu manusia mencapai otonomi dan kebijaksanaan hidup. 

Namun dengan munculnya pemikiran filsafat dalam masyarakat Yunani menimbulkan demitologisasi pemikiran mistis teori mulai dijauhkan dari ritus keagamaan. Dalam pemikiran filosofis, teori berarti “kontemplasi atas kosmos” yakni memandang alam semesta dan menemukan suatu tertib yang tidak berubah-ubah, yaitu suatu macrocosmos.  Dengan “memandang” makrokosmos, filsuf menyadari adanya gerak alamiah dan nada harmonis yang sama dalam dirinya sendiri melakukan penyesuaian diri dengan tertib alam semesta “kontemplasi atas kosmos” menjadi tingkah laku praktis melalui kesadaran dirinya sebagai microcosmos. 

Munculnya filsafat di Yunani, teori mulai dipisahkan dari praxis. Filsafat lalu menarik garis batas antara Ada dan wahyu antara yang tetap dan berubah-ubah. Melalui teori, filsuf mulai menyusun konsep-konsep tentang ke-apa-an (hakikat) benda-benda dan apa yang disebut hakikat tak lain dari inti kenyataan yang tak berubah-ubah. Pemahaman itu dipandang sebagai pengetahuan sejati dan untuk manusia dapat memahami kenyataan sebagaimana adanya sehingga catharsis  pembebasan diri dari perasaan dan dorongan nafsu yang berubah-ubah yang semula dialami lewat upacara mistis sekarang dicapai lewat kemauan manusia sendiri, melalui teori. Kata theorea berasal dari tradisi keagamaan kebudayaan Yunani Kuno “Theoros” adalah seorang wakil yang dikirim oleh polis untuk keperluan ritus keagamaan. Melalui teori sekaligus ia mengalami emansipasi dari nafsu-nafsu rendah.

Pembersihan teori dari kepentingan berlangsung dalam dua jalur; Pertama, mengutamakan kemampuan rasio bahwa pengetahuan murni dapat diperoleh melalui manusia sendiri.  Dari sini berdiri Platon menekankan peranan intuisi bahwa pengetahuan sejati adalah pengetahuan tunggal yang tidak berubah-ubah, yaitu pengetahuan yang menangkap idea-idea. Pengetahuan manusia bersifat apriori, sudah melekat pada rasio itu sendiri,  tugas manusia hanya mengingat kembali apa yang terdapat secara apriori dalam rasionya, yaitu idea-idea. Untuk itu manusia harus terus menerus membersihkan pengetahuannya dari unsur yang berubah-ubah agar dapat menembus hakikat kenyataan atau idea-idea.  Jalur itu menampakkan diri kembali dalam filsafat modern sebagai aliran rasionalisme yang dirintis Rane Descartes. Bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh dalam rasio sendiri dan bersifat apriori. Pengetahuan apriori semacam itu disebut pengetahuan transendental karena mengatasi pengamatan empiris yang bersifat khusus dan berubah-ubah. Pengetahuan manusia dipandang universal dan transhistoris. 

Kedua, mementingkan pengalaman empiris bahwa pengetahuan murni biasa diperoleh melalui pengamatan empiris terhadap objek pengatahuan.  Disini terdapat Aristoteles  dengan abstraksi. Baginya pengetahuan sejati adalah hasil pengamatan empiris. Pengetahuan bersifat aposteriori, maka tugas manusia adalah mengamati unsur-unsur yang berubah-ubah dan melakukan abstraksi atas unsur-unsur itu sehingga dari yang partikular diperoleh yang universal. Untuk melakukan abstraksi manusia harus membersihkan diri dari unsur-unsur yang berubah-ubah.  Pada jalur ini tampil aliran empirisme seperti Hobbes, Locke, Berkley, David Hume, bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh melalui pengamatan empiris dan karenanya bersifat aposteriori karena mendasarkan diri pada pengalaman.

Perkembangan berikutnya lahir positivisme Aguste Comte (1798-1857) menganggap pengetahuan mengenai fakta objektif sebagai pengetahuan yang sahih. Dengan menyingkirkan pengetahuan yang melampaui fakta, positivisme mengakhiri riwayat ontologi atau metafisika. Ontologi menelaah apa yang melampaui fakta indrawi. Positivisme adalah kesadaran positivistik tentang kenyataan, khususnya sebagaimana diamati oleh ilmu-ilmu alam. Dalam filsafat abad ini pemikiran positivistik tampil dalam gagasan Lingkaran manusia yang mencita-citakan suatu ilmu pengetahuan yang terpadu (einheitswissenschaft). 

Filsafat Kant bersifat kritis karena mempertanyakan The Condition of Possibility dari pengetahuan kita. Dengan cara ini Kant memeriksa kesahihan ilmu alam dan metafisika.  Dalam Kritik der reinen Vernunft (Kritik atas Rasio Murni), Kant menunjukkan bahwa pengetahuan merupakan sintesis antara unsur apriori (yang mendahului pengalaman) dan unsur aposteriori (berdasarkan pengalaman). Untuk memperoleh pengetahuan rasional, rasio  menempuh tiga tahap refleksi; Tahap Pertama sebagai tahap pengetahuan indrawi; pengetahuan terdiri dari unsure apriori dan aposteriori. unsur  apriorinya adalah ruang dan waktu, yang membentuk data empiris menjadi kenyataan yang diketahui. Menurut Kant, kenyataan sejati tidak dapat diketahui meskipun setiap objek yang kita ketahui mengandaikan adanya suatu das ding an sich (benda-pada-dirinya-sendiri). 

Objek yang kita ketahui secara empiris itu bukan benda pada dirinya. Benda pada dirinya tidak dapat ditembus oleh pengetahuan kita. Sehingga yang kita ketahui sebagai “meja”, “pohon” dan “batu” itu hanya sebagai gejala. Gejala itu tampak dan dapat dikenali karena terjadi sintesis antara hal-hal yang datang dari dalam subjek pengetahuan sendiri, yaitu apriori ruang dan waktu. Keadaan ini persis seperti orang yang memakai kacamata hijau dan melihat semuanya berwarna hijau.
Tahap Kedua, tahap akal budi (verstand), pengetahuan kita terdiri atas orde data indrawi yang telah dikenali pada tahap indrawi. Bentuk linguistik pengetahuan akal budi adalah proposisi atau keputusan.  Misalnya, kalimat “segitiga memiliki tiga sudut”. Keputusan ini disebut keputusan analitis apriori, karena predikat kalimat (memiliki tiga sudut) diperoleh dengan menganalisis subjek (segitiga), tanpa pengalaman (apriori). Contoh kalimat lain: “Es itu dingin” atau keputusan sintetisapriori.  Keputusan ini terdiri dari predikat (dingin) yang di peroleh dari pengalaman (aposteriori) dan menambah hal baru pada subjeknya (es), sehingga bersifat sintetis. Yang dipermasalahkan oleh Kant adalah keputusan sintetis apriori , seperti dalam kalimat: “segala kejadian ada sebabnya”. 

Dalam kalimat itu, predikat (ada sebabnya) menambah hal baru pada subjek (segala kejadian), sehingga bersifat sintetis, tetapi predikat itu tidak diperoleh berdasarkan pengalaman dan tidak berdasarkan analisis atas subjek. Kita tidak memeriksa seluruh kejadian baru menyatakan sahihnya kalimat itu. Keputusan sintetis apriori ini banyak dijumpai dalam ilmu alam dan memungkinkan kemajuan kognitif kita. Tetapi Kant bertanya bagaimana keputusan sintetis apriori itu mungkin? Jawabanya, karena dalam akal budi kita terdapat unsur-unsur apriori yang disebutnya “kategori” yang bersintetis dengan data indrawi sebagai unsur aposteriori.

Dan akhirnya sebagian dari manusia (kita) dalam fakta-fakta sosial dipertontonkan bagaimana kemudian kritik menjadi ancaman bagi kekuasaan. Kebenaran menjadi absurd---sebab menghadapi dominasi menjadi lebih benar daripada kebenaran imiah itu sendiri. (mungkin) inilah wujud dari post-truth yakni ketika kebenaran teranafikkan dalam kehidupan manusia. Berkaca dari itu, pada kehidupan Yunani klasik kita akan mengenal bagaimana otoritas kebenaran itu pernah di dominasi oleh dewa, bahkan dewan gereja yang kemudian mendorong munculnya berbagai kritik sampai pada revolusi sebagai bentuk mengembalikan kesadaran. 

Karena itu, demarkasi antara kepentingan kekuasaan dengan kepentingan pengetahuan demikian tajam bahkan nyaris terpisah jauh, dan pada akhirnya terkesan kalau ilmu pengetahuan “kerap” menjadi musuh kekuasaan. Yang seharusnya tidak demikian, sebab dibagian lain juga terlalu banyak sejarah yang mencatat kalau negara-negara modern semakin maju karena perkembangan ilmu pengetahuan. Jadi terlalu naif bila dikhotomi ini semakin dipertajam hanya dengan memuaskan kepentingan di satu sisi sementara di sisi lain dianggap sebagai musuh atau rivalitas. 

Dengan kesimpulan, bahwa sejarah kekuasaan adalah juga sejarah pengetahuan, karena itu keduanya mesti berbarengan dalam memenuhi kepentingan masing-masing tanpa harus mencederai dan memusuhinya satu sama lain. 

Oleh: Saifuddin 
Direktur Eksekutif LKiS
Dosen, penulis, peneliti, kritikus sosial politik, dan penggiat demokrasi
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan PARADAPOS.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi PARADAPOS.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar