Menara Gading Prabowo dan Bajak Sawah Gibran: 'Karakter Bangsa Yang Terekam Dalam Politik Populis'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Prabowo Subianto tampaknya sedang sibuk mendaki tangga menuju menara gading kekuasaan.
Ia tampil memukau dalam berbagai forum dunia, berbicara lantang tentang masa depan Indonesia.
Di hadapan para intelektual, ia bicara soal geopolitik, ketahanan pangan, dan strategi pertahanan negara dengan narasi besar dan jargon yang menggetarkan.
Pidato-pidato itu terdengar membanggakan, menggambarkan seolah bangsa ini telah memilih sosok negarawan sejati sebagai presiden masa depan.
Tapi di bawah menara gading itu, ada sawah yang dibajak. Di sana, Gibran Rakabuming Raka sibuk membagikan susu gratis, buku anak, dan makan siang kepada siswa-siswa SD.
Ia hadir dalam bentuk paling sederhana dari politik: menyentuh langsung perut dan hati rakyat.
Ia tidak bicara soal multilateralisme atau doktrin militer. Ia bicara tentang “siapa yang hari ini belum sarapan.”
Dan rupanya, mayoritas rakyat Indonesia — yang bahkan tak menamatkan pendidikan sekolah menengah — lebih mengingat si pembagi nasi kotak daripada si penulis pidato strategis. Dalam catatan hati mereka, bukan Prabowo yang hidup, melainkan Gibran.
Mereka tidak punya referensi untuk mencerna politik luar negeri atau konsepsi pertahanan kawasan Indo-Pasifik.
Tapi mereka tahu siapa yang datang ke kampung mereka, siapa yang menjabat tangan mereka, dan siapa yang memberi mereka nasi saat lapar.
Ironi ini membuka luka lama bangsa ini: pendidikan yang rapuh, kesadaran politik yang dangkal, dan kecenderungan memilih berdasarkan perasaan, bukan pemikiran. Politik kita bukan lagi kontestasi gagasan, melainkan adu siapa yang paling “membumi”.
Artikel Terkait
Gus Dur dan Syaikhona Kholil Resmi Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional 2025
Tuan Rondahaim Saragih Garingging: Raja Simalungun Pahlawan Nasional 2025, Sejarah & Perjuangannya
Mahfud MD Bantah Tegas Pernyataan Ijazah Jokowi Asli: Itu Berita Bohong
Prabowo Instruksikan Pembatasan Game Online Usai Ledakan SMAN 72 Jakarta, Ini Alasannya