Pemimpin Tak Punya Otak atau Tak Punya Nurani? Membongkar Wajah Kekuasaan Era Jokowi: Korupsi, Represi, dan Negara Tanpa Keadilan!

- Sabtu, 07 Juni 2025 | 08:35 WIB
Pemimpin Tak Punya Otak atau Tak Punya Nurani? Membongkar Wajah Kekuasaan Era Jokowi: Korupsi, Represi, dan Negara Tanpa Keadilan!


Sementara itu, aset BUMN mulai dijual, bahkan diatur dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja. Di saat rakyat kesulitan hidup, kekayaan negara justru dilego dalam bentuk perusahaan patungan, tanpa pengawasan publik yang layak.


Indonesia Terjajah Kembali


Makna Filosofis “Pintu Gerbang Kemerdekaan”. Ketika Bung Karno menyatakan, “telah sampailah kita di pintu gerbang kemerdekaan,” ia sedang memberi peringatan bahwa kemerdekaan politik hanyalah awal. 


Penjajahan yang lebih dalam dan sistemik—yakni penjajahan ekonomi—masih berlangsung dan akan terus berlanjut jika tidak dihentikan oleh kekuatan politik yang sadar dan berdaulat. 


Hal ini tercermin jelas dalam Pidato 1 Juni 1945 dan dokumen-dokumen Marhaenisme yang menempatkan rakyat kecil (Marhaen) sebagai pusat revolusi sosial dan ekonomi.


Bung Karno menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak cukup hanya mengganti bendera penjajah dengan bendera Merah Putih, tetapi harus mengganti sistem ekonomi kolonial yang mengeksploitasi tanah, air, dan kekayaan alam oleh segelintir elite dan asing. Inilah yang disebutnya sebagai revolusi sosial dan ekonomi.


Penjajahan Ekonomi: Historis dan Kontemporer


Penjajahan Zaman Kolonial

Seperti disebut dalam buku The History of Java oleh Thomas Stamford Raffles (1817), walau Majapahit adalah kerajaan lokal, ia tunduk pada sistem dagang asing, terutama melalui hubungan politik-ekonomi dengan Tiongkok dan India.


Julian Wolbers dalam Java, Its History, Customs and Governance menggambarkan rakyat bumiputera sebagai kelas pekerja yang “berdiri di atas tanah sendiri, tetapi tidak pernah menikmati hasilnya.”


HGU 75 Tahun oleh India-Belanda adalah bentuk perpetual tenure—kepemilikan jangka panjang oleh pihak asing dan kongsi dagang—yang mengabaikan hak milik asli rakyat.


Penjajahan Zaman Modern

Dalam konteks Indonesia hari ini, kebijakan seperti Omnibus Law dan pemberian izin konsesi lebih dari 100 tahun (melebihi sistem HGU kolonial) dapat dianggap sebagai kelanjutan penjajahan ekonomi dalam bentuk baru: legalistik, konstitusional, tetapi tetap eksploitatif.


Dalam bahasa Bung Karno, ini adalah “neo-kolonialisme” atau imperialisme ekonomi yang disahkan melalui hukum.


Omnibus Law dan Perpetual Tenure

Omnibus Law Cipta Kerja memberikan ruang yang sangat besar kepada investor asing dan konglomerat domestik untuk mendapatkan:


  • Hak Guna Usaha (HGU) lebih dari 100 tahun,
  • Pemutusan hubungan kerja secara sepihak,
  • Privatisasi sumber daya alam melalui perizinan berbasis risiko, bukan pengawasan negara,
  • Penghapusan ketentuan penting dalam UU Ketenagakerjaan, Perlindungan Lingkungan, dan BUMN.


Semua ini menjadikan rakyat, dalam istilah Marxis dan Marhaenis, kembali sebagai “proletar tanpa tanah” yang hidup di atas tanahnya sendiri, namun dikekang oleh aturan pasar yang dibuat bukan untuk rakyat, melainkan untuk pemodal.


Kontradiksi Konstitusional


Hal ini jelas bertentangan dengan:


Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”


Pasal 1 ayat (3): Negara hukum, yang seharusnya memihak pada keadilan sosial, bukan kepentingan korporasi.


Otak atau Nurani: Apa yang Kosong?


Di titik ini, publik hanya bisa bertanya: apakah Presiden Jokowi tak mengerti akibat dari semua ini—atau memang tak peduli?


Ketika penguasa tak lagi mendengar jerit petani, suara buruh, atau tangis anak-anak di pengungsian, maka negeri ini sedang dipimpin bukan oleh visi, tetapi oleh vakum moral.


Penutup:  Jalan Panjang Menuju Kemerdekaan Sejati


Ini bukan sekadar kritik, melainkan panggilan sejarah. Jika bangsa ini hendak selamat, maka ia harus mulai berani memisahkan antara pemimpin yang dicintai, dan pemimpin yang efektif. 


Antara citra dan kerja nyata. Antara mereka yang masih punya otak, dan mereka yang masih punya nurani.


Pernyataan Bung Karno tentang “pintu gerbang kemerdekaan” adalah deklarasi bahwa perjuangan belum selesai. 


Saat ini, tantangan terbesar Indonesia bukanlah penjajahan politik, tetapi hegemoni ekonomi melalui instrumen hukum modern seperti Omnibus Law.


Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum moral, Negara tidak mengikat pejabat tingginya dengan hukum lain, sekalipun dalam hukum pidana menggunakan frasa “barang siapa”. 


Hal ini bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada pemimpin agar dapat melakukan suatu kebijakan atau merubah RPJM/P bila dibutuhkan karena ketidakpastian masa depan.


Moral diikat dan disempurnakan dengan Sumpah, sehingga tuntutan kehati-hatian dalam berbicara dan kebijakan adalah syarat mutlak seorang Presiden.


Mayoritas kebijakan Presiden Jokowi harus dikoreksi ulang demi menuju kemerdekaan sejati bangsa Indonesia. ***

Halaman:

Komentar