Ditugaskan ke Papua: 'Antara Ikhlas Mati dan Dibuang Hidup-Hidup'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Papua, permata di ufuk timur negeri. Dibilang surga, iya. Dibilang ladang konflik, juga tidak keliru.
Ia tempat yang elok buat brosur pariwisata, tapi bikin jantung nyeri bila disebut dalam surat penugasan.
Bagi tentara dan polisi, ditugaskan ke Papua adalah soal nyali. Di markas disebut “pengabdian”, tapi di lapangan itu bisa berarti ikhlas mati.
Betul-betul ikhlas. Bukan ikhlas model kata sambutan di seminar motivasi.
Tapi ikhlas yang berarti: “Kalau saya tidak pulang, tolong rawat anak istri saya.”
Kawan-kawan berseragam loreng tahu persis: Papua bukan sekadar provinsi, tapi semacam titik tak berbalik—point of no return.
Mereka naik pesawat Hercules dengan doa di bibir, dan seringkali pulang dalam peti, diiringi lagu wajib nasional dan isak tangis yang hanya didengar sejenak, sebelum tenggelam oleh bisingnya konten TikTok.
Namun, di kalangan birokrat, penugasan ke Papua punya arti yang lebih subtil tapi tak kalah menyakitkan: hukuman administratif.
Iya, benar. Papua dijadikan momok, ancaman yang disisipkan di balik senyum pejabat.
Contohnya? Silakan buka kembali rekaman Tri Rismaharini, Menteri Sosial yang dikenal keras kepala sekaligus keras suara.
Artikel Terkait
Strategi PSI 2029: Dapat Dukungan Penuh Jokowi Setelah 2 Kali Gagal?
Pemakzulan Gus Yahya? Kronologi Lengkap Kontroversi Israel hingga Surat PBNU
Misteri Kematian Dosen Untag Semarang: Fakta Hubungan dengan AKBP Basuki dan Peringatan Rekan
KPK Tegaskan Uang Rp 300 Miliar ke Taspen Bukan Pinjaman Bank, Tapi Hasil Rampasan Korupsi