Suasana terminal keberangkatan internasional itu tampak seperti biasa—hiruk-pikuk para penumpang, pengumuman boarding menggema, dan petugas bandara lalu-lalang dengan ritme teratur. Namun, satu pemandangan mencuri perhatian beberapa penumpang dan awak media yang berjaga: seorang pria tua, duduk di kursi roda, mengenakan jaket hitam dan topi pet, didorong pelan oleh seorang lelaki yang penuh keteguhan.
Dua nama yang dulu pernah bersisian dalam sejarah aktivisme Indonesia, kini bersatu dalam satu tujuan: membawa persoalan ijazah mantan Presiden ke ranah internasional. Mereka adalah Eggi Sudjana dan Yusuf Blegur.
Bagi sebagian orang yang mengenal peta organisasi mahasiswa Indonesia, kebersamaan Eggi Sudjana dan Yusuf Blegur mungkin terasa janggal. Eggi adalah mantan Ketua Umum HMI MPO, organisasi mahasiswa Islam dengan jejak panjang dalam sejarah politik Indonesia. Sementara Yusuf Blegur adalah mantan aktivis GMNI, organisasi mahasiswa nasionalis yang berakar pada pemikiran Soekarno.
Dalam sejarah pergerakan mahasiswa, HMI dan GMNI dikenal sebagai dua kutub ideologis yang sering berseteru, baik di kampus maupun dalam medan politik nasional. Namun sejarah tidak selalu berjalan dalam garis lurus. Kadang ia berbelok, mempertemukan dua sosok yang dahulu mungkin berbeda medan, kini dalam satu kendaraan perjuangan.
“Hubungan kami tidak dibentuk oleh ideologi. Kami dipertemukan oleh kesadaran moral bahwa ada yang harus diperjuangkan bersama,” ujar Yusuf Blegur kepada Suara Nasional.
Eggi tidak lagi sekuat dulu. Tubuhnya sudah tidak setangguh ketika memimpin aksi-aksi mahasiswa pada era 1990-an. Namun semangatnya tetap menyala. Duduk di kursi roda, Eggi tampak penuh keyakinan.
Dia tak membawa banyak barang. Hanya satu koper kecil dan sebuah map coklat berisi dokumen-dokumen. Di dalam map itu, tersimpan laporan yang akan ia sampaikan langsung ke kantor pusat Amnesty International di London—sebuah laporan yang ditujukan untuk mengadukan dugaan pemalsuan ijazah oleh Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo.
“Ini bukan sekadar soal ijazah. Ini soal integritas kepemimpinan. Ini soal masa depan demokrasi Indonesia,” ujar Eggi singkat namun tajam.
Bagi Yusuf Blegur, mendampingi Eggi bukan sekadar solidaritas. Ini adalah bagian dari tanggung jawab sejarah. Sebagai mantan aktivis yang pernah terlibat dalam gerakan reformasi dan pembela HAM, Yusuf merasa bahwa perjuangan tidak pernah selesai. Bahkan ketika usia dan situasi tidak lagi memihak.
“Saya sadar langkah ini kontroversial. Tapi lebih gila lagi kalau kita diam melihat negara seperti kehilangan akal sehatnya. Kita dipaksa mengakui kebenaran tanpa boleh bertanya. Bang Eggi berani melawan itu. Dan saya berdiri bersamanya,” ujarnya.
Yusuf menceritakan bahwa pertemanannya dengan Eggi sudah berjalan lebih dari satu dekade. Keduanya kerap bertemu dalam forum-forum diskusi, debat publik, bahkan menjadi sesama narasumber dalam berbagai acara televisi. Ketegangan kadang muncul karena latar ideologi yang berbeda, namun selalu selesai dalam gelak tawa dan penghargaan satu sama lain.
“Kami belajar dari sejarah. Bung Karno dan M. Natsir bisa duduk bareng. Masa kami tidak?”
Langkah Eggi dan Yusuf ini bukan tanpa risiko. Mereka tahu, menyoal ijazah presiden bukanlah perkara ringan. Banyak pihak menganggap ini sebagai langkah sia-sia, bahkan disebut sebagai aksi politik oportunistik. Tapi bagi mereka, diam justru jauh lebih memalukan.
“Ada ketakutan besar di negeri ini. Ketakutan untuk bertanya. Untuk menuntut transparansi. Saya ingin memecah ketakutan itu,” kata Eggi.
Amnesty International mungkin tidak serta-merta menyelesaikan perkara hukum di Indonesia. Namun membawa isu ini ke ranah internasional adalah bentuk perlawanan terhadap apatisme dan pembungkaman. Setidaknya, dunia tahu bahwa masih ada suara yang bersuara, di tengah kebisingan propaganda dan pencitraan.
Beberapa menit sebelum keberangkatan, Eggi meminta Yusuf untuk mendoakannya. “Kalau saya tidak pulang, tolong teruskan perjuangan ini,” ujarnya sambil menggenggam tangan sahabatnya. Yusuf hanya mengangguk, matanya memerah menahan haru.
Pesawat menuju London lepas landas. Di balik kaca jendela bandara, Yusuf Blegur menatap langit yang perlahan cerah. Ia tahu, ini bukan akhir. Justru baru awal dari babak baru—perlawanan yang dibawa sampai ke luar batas republik.
Ketika dua tokoh dari dua organisasi yang dulu tak pernah akur kini bersatu, mungkin itu pertanda bahwa negeri ini sedang mengalami guncangan nilai. Ketika pertanyaan tentang keabsahan sebuah ijazah harus dibawa ke benua lain, itu juga pertanda bahwa kepercayaan publik pada sistem keadilan sedang digugat.
Dan ketika dua pria tua, dengan tubuh yang tidak lagi muda, masih mau berkorban untuk membongkar kebenaran, kita yang muda justru patut bertanya: sudah sejauh mana kita peduli pada negeri ini?
Sumber: suaranasional
Foto: Yusuf Blegur dan Eggi Sudjana (IST)
Artikel Terkait
Prabowo Dibayangi Jokowi? BRIN: Dianggap Guru Politiknya dan Tak Ingin Dicap Kacang Lupa kulit
Gak Perlu Tes Ulang Semua! CPNS 2025 Bisa Diulang Sebagian dan Skor Berlaku 2 Tahun!
Sindir Jokowi? Hotman Paris Ingatkan Penguasa Kondisi saat Pensiun: Anak Cucu Ngemis-ngemis Minta...
Viral Video Stadion Pakansari Jadi Sarang Mesum, Konten Kreator Bakal Dipolisikan