Dandhy Laksono: Bencana Sumatra Bukan Alam, Tapi Bencana Buatan Manusia - Analisis Lengkap

- Sabtu, 13 Desember 2025 | 14:50 WIB
Dandhy Laksono: Bencana Sumatra Bukan Alam, Tapi Bencana Buatan Manusia - Analisis Lengkap

Dandhy Laksono Bongkar Dalang di Balik Bencana Sumatra: Bukan Alam, Tapi Bencana Buatan Manusia

Jurnalis investigasi dan aktivis lingkungan Dandhy Laksono menegaskan, rangkaian bencana banjir besar dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, serta wilayah Asia Tenggara lainnya, bukan semata-mata bencana alam.

Menurutnya, ini adalah bencana buatan manusia (human made disaster) yang dipicu oleh kebijakan politik, pembiaran deforestasi, dan perampokan hutan secara sistematis yang dilegalkan.

Banjir Kayu, Bukan Banjir Air

Dalam sebuah podcast, Dandhy menyatakan banjir di Aceh dan Medan adalah "banjir kayu" atau "banjir logging" akibat pembalakan hutan. Kayu-kayu yang terbawa banjir jelas memiliki identitas perusahaan.

Ia membedakannya dengan tsunami Aceh 2004 yang merupakan natural disaster. "Yang ini political disaster. Semua akibat keputusan politik," ujarnya.

Lima Gelombang Deforestasi Sistematis Indonesia

Dandhy memaparkan sejarah panjang kerusakan hutan Indonesia yang terstruktur:

  • Ekspansi minyak dan gas (1950-an).
  • Logging skala besar via Hak Pengusahaan Hutan - HPH (akhir 1960–1970-an).
  • Tambang batubara (1980-an).
  • Ekspansi sawit monokultur (1990-an hingga kini, mencapai 17 juta hektar).
  • Tambang nikel untuk industri kendaraan listrik.

"Tidak ada satu pun gelombang deforestasi besar itu dilakukan oleh rakyat. Semua highly regulated. Artinya, ini kerja perusahaan dengan izin negara," tegas Dandhy. Ia menyimpulkan, "Kalau mau jujur, kita dirampok oleh pemerintah kita sendiri."

Peringatan Diabaikan, Masyarakat Adat Dipinggirkan

Aktivis lingkungan di Aceh disebut telah 17 kali mengirim surat peringatan ke pemerintah lengkap dengan data satelit, drone, dan koordinat GPS tentang deforestasi di kawasan suaka margasatwa. Namun, peringatan itu diabaikan.

Halaman:

Komentar