Aktivis politik Nicho Silalahi kembali melontarkan kritik keras terhadap Kejaksaan Agung (Kejagung). Kritik ini muncul setelah lembaga tersebut dinilai tidak tegas dalam menindaklanjuti fakta persidangan kasus mega korupsi proyek BTS 4G BAKTI Kominfo, terutama yang menyeret nama Nistra Yohan, mantan staf ahli anggota Komisi I DPR dari Fraksi Gerindra, Sugiono, yang kini menjabat Menteri Luar Negeri.
Menurut Nicho, hingga kini Kejagung belum juga secara resmi mengumumkan status Daftar Pencarian Orang (DPO) maupun melakukan penangkapan terhadap Nistra, meski namanya berkali-kali muncul di persidangan dengan dugaan menerima aliran dana sebesar Rp70 miliar.
“Kalau Kejagung tidak segera umumkan DPO dan buru Nistra Yohan, publik wajar menilai lembaga ini letoy, tidak berani sentuh aktor-aktor yang punya kedekatan politik dengan penguasa,” ujar Nicho dalam keterangannya, Senin (25/8/2025).
Nama Nistra Yohan pertama kali mencuat dalam kesaksian dua terdakwa sekaligus saksi mahkota, Irwan Hermawan dan Windi Purnama. Keduanya membeberkan adanya dana Rp70 miliar yang diberikan kepada Nistra, yang saat itu dikenal sebagai tenaga ahli Sugiono di Komisi I DPR.
Dana tersebut disebut-sebut sebagai bagian dari upaya “pengamanan perkara” yang melibatkan sejumlah pihak di DPR. Namun, meski fakta ini terungkap di ruang sidang, hingga kini Kejagung belum menunjukkan langkah konkret untuk menghadirkan Nistra dalam proses hukum.
Bagi Nicho Silalahi, kasus ini menyangkut kredibilitas penegakan hukum. Ia menilai, publik sudah terlalu sering menyaksikan adanya tebang pilih dalam pemberantasan korupsi, terutama ketika kasus menyentuh aktor politik besar.
Menurutnya, fakta persidangan yang menyebut aliran dana Rp70 miliar kepada Nistra adalah pintu masuk penting untuk menelusuri lebih jauh siapa saja aktor yang terlibat. Nicho menegaskan, jika Kejagung berani menjerat mantan Menteri Kominfo Johnny G. Plate, maka seharusnya keberanian yang sama juga ditunjukkan dalam memburu Nistra Yohan.
Ia menambahkan, tanpa kejelasan status hukum Nistra, publik akan terus menaruh curiga bahwa ada intervensi politik yang membelenggu langkah aparat penegak hukum.
Nicho juga menyinggung sulitnya mengharapkan dorongan kuat dari Komisi III DPR sebagai mitra kerja Kejagung. Menurutnya, hal itu tidak lepas dari adanya potensi konflik kepentingan. Saat ini, Ketua Komisi III DPR dijabat oleh Habiburokhman, politisi dari Partai Gerindra—partai yang sama dengan Sugiono dan Nistra.
Kondisi ini, kata Nicho, membuat kecil kemungkinan Komisi III akan benar-benar menekan Kejagung untuk bersikap tegas. Sebab, relasi politik yang kental berpotensi mengaburkan fungsi pengawasan yang semestinya dijalankan secara objektif.
Kasus ini juga sarat dimensi politik karena nama besar lain yang ikut disorot adalah Sugiono, mantan Wakil Ketua Komisi I DPR yang kini dipercaya Presiden Prabowo Subianto sebagai Menteri Luar Negeri. Dengan posisinya yang strategis di kabinet, tekanan terhadap Kejagung untuk bersikap transparan semakin besar.
Publik tentu tidak ingin melihat adanya kesan “perlindungan politik” terhadap pihak-pihak yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan. Sugiono sendiri membantah pernah menerima uang Rp70 miliar sebagaimana disebutkan dalam persidangan, namun bantahan itu dinilai tidak cukup tanpa pemeriksaan lebih lanjut terhadap Nistra sebagai pihak yang disebut langsung menerima dana tersebut.
Menurut Nicho, ada beberapa sebab mengapa kasus ini tampak mandek. Pertama, ketiadaan pengumuman resmi mengenai status DPO Nistra Yohan membuat publik bertanya-tanya apakah benar yang bersangkutan sudah buron atau justru masih berada di lingkaran yang dilindungi.
Kedua, aliran dana Rp70 miliar yang disebut dalam sidang seolah berhenti begitu saja di nama Nistra. Padahal, menurut logika kasus, dana sebesar itu hampir pasti tidak untuk konsumsi pribadi semata, melainkan bagian dari jejaring yang lebih besar. Hingga kini, penelusuran mengenai kemana uang itu bergerak masih gelap.
Ketiga, persoalan politik tak bisa diabaikan. Dengan Nistra sebagai kader Gerindra, Sugiono sebagai pejabat tinggi di kabinet, serta Habiburokhman sebagai Ketua Komisi III DPR, publik wajar menaruh curiga ada konflik kepentingan yang membuat kasus ini sulit disentuh.
Nicho mendesak Kejagung untuk mengambil langkah nyata. Pengumuman resmi status DPO Nistra Yohan mesti dilakukan segera dan disampaikan terbuka kepada masyarakat. Jika memang ada indikasi Nistra berada di luar negeri, red notice Interpol harus diajukan agar pencarian bisa lintas batas.
Selain itu, Kejagung perlu membuka perkembangan perkara secara berkala agar publik tidak disuguhi kabar simpang siur. Dan yang tak kalah penting, penelusuran aliran dana Rp70 miliar wajib dilakukan secara transparan untuk memastikan siapa sebenarnya aktor utama di balik skandal ini.
Sumber: suara
Foto: Nicho Silalahi (IST)
Artikel Terkait
Tersangka Suap IUP Kaltim Rudy Ong Ngamuk di KPK: Ngaku Diperas Anak Buah Rp 10 Miliar
Buru Jejak Uang Haram Haji: KPK Incar Orang-orang Terdekat Gus Yaqut, Siapa Saja?
Sosok Dwi Hartono Otak Pembunuhan Ilham Pradipta, Crazy Rich Jambi Dekat dengan Pejabat
Demo di DPR Berakhir Ricuh, Pos Polisi di Slipi Dirusak Massa, Tenda Aparat Dibakar