Jadi Sorotan! Prasasti Siloam dan Balas Pantun Erdogan-Netanyahu

- Minggu, 21 September 2025 | 06:45 WIB
Jadi Sorotan! Prasasti Siloam dan Balas Pantun Erdogan-Netanyahu

Alquran pun mengonfirmasinya, tentu dengan catatan khusus. 


Yang uraiannya perlu artikel khusus menjelaskannya dari tinjauan sejarah, filologi, arkeologi biblikal dan perbandingan narasinya dengan teks dan tafsir Alquran sebagai wahyu final dan otentik. 


Tetapi menjadikannya dasar klaim politik atas kota yang kini dihuni oleh bangsa Palestina, dan yang telah melalui rezim Romawi, Bizantium, Islam Arab, Ottoman, hingga Mandat Britania, jelas tidak sejalan dengan prinsip keadilan sejarah maupun hukum internasional.


Tamparan Narasi Erdogan


Ketika Netanyahu menyatakan secara provokatif di Silwan: "Ini kota kami. 


Bukan kota Anda, Mr Erdogan!”, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menanggapi dengan tegas: “Artefak itu milik Turki, dan Al-Quds Timur adalah hak rakyat Palestina.”


Erdoğan menyebut bahwa Yerusalem adalah kehormatan dan keagungan semua umat Islam dan seluruh umat manusia, serta membela Yerusalem berarti membela perdamaian dan kemanusiaan. 


Ia juga menegaskan bahwa perjuangan Turki akan terus berlanjut sampai negara Palestina merdeka berdiri dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya, berdasarkan perbatasan tahun 1967. 


Respons Erdogan merepresentasikan dua hal. 


Pertama, penegasan posisi hukum artefak berdasarkan prinsip kedaulatan negara Ottoman sebagai entitas sah pada masa penemuan. 


Kedua, pengingat bahwa status politik Al-Quds Timur adalah wilayah pendudukan ilegal menurut hukum internasional. 


Dengan demikian, klaim Israel melalui simbol arkeologi ditampik melalui argumen historis sekaligus legal.


Analogi dan Kritik terhadap Klaim Historis


Secara akademis, klaim Israel dapat dikritisi dengan analogi sederhana. Belanda pernah menjajah Indonesia selama 350 tahun. 


Dalam kurun waktu itu tentu saja banyak situs peninggalan Belanda, mulai dari istana ikonik, jembatan, bendungan, jalur kereta api, hingga printilan alat dapur. 


Namun, fakta sejarah tersebut tidak memberikan dasar legitimasi bagi Belanda untuk menuntut kedaulatan atas Indonesia hari ini.


Demikian pula, kehadiran Yahudi di Yerusalem ribuan tahun lalu tidak serta-merta menjadi landasan bagi Israel modern untuk menjadikan Al-Quds sebagai “ibu kota abadi.” Sejarah adalah data, bukan lisensi kekuasaan.


Perspektif Hukum Internasional


Hukum internasional menempatkan Al-Quds Timur, termasuk kompleks Al-Aqsa, sebagai wilayah pendudukan. 


Resolusi-resolusi PBB menegaskan bahwa tindakan Israel—baik berupa permukiman, penggalian arkeologi, maupun pembangunan infrastruktur—adalah ilegal.


Dengan demikian, klaim Israel atas Prasasti Siloam tidak memiliki konsekuensi yuridis apapun. 


Artefak sejarah, seberapapun pentingnya, tidak dapat dijadikan dasar legal untuk mendefinisikan kedaulatan. 


Sebaliknya, penguasaan Israel atas wilayah itu dipandang sebagai bagian dari proyek kolonialisme modern.


Kesimpulan


Kasus Prasasti Siloam memperlihatkan secara telanjang bahwa dalam konflik Al-Quds, pertempuran narasi sejarah sama pentingnya dengan pertempuran militer dan diplomasi. 


Israel berusaha menggunakan simbol-simbol arkeologis untuk membangun legitimasi historis, tetapi langkah tersebut tidak mampu menutupi fakta hukum yang menjadi konsensus internasional: Al-Quds Timur adalah wilayah Palestina yang diduduki secara ilegal.


Sementara itu, respons Turki mengingatkan dunia bahwa sejarah tidak bisa direduksi menjadi alat propaganda, dan bahwa kedaulatan politik harus berpijak pada hukum internasional, bukan mitos politik. 


Dengan demikian, masa depan Al-Quds tidak ditentukan oleh sepotong prasasti, melainkan oleh prinsip keadilan, legitimasi hukum, dan hak rakyat Palestina untuk hidup merdeka dan berdaulat di atas tanahnya.


Sumber: Republika

Halaman:

Komentar