Berdaya Lewat Mangrove: The Lead Institute Paramadina Latih Perempuan Pulau Tidung Ciptakan Produk dan Ekoturisme Pesisir

- Selasa, 30 September 2025 | 06:25 WIB
Berdaya Lewat Mangrove: The Lead Institute Paramadina Latih Perempuan Pulau Tidung Ciptakan Produk dan Ekoturisme Pesisir


Jakarta - The Lead Institute Universitas Paramadina mendampingi komunitas perempuan Pulau Tidung, Kepulauan Seribu berlatih meningkatkan kegunaan Mangrove yang tidak hanya sebagai tembok pertahanan alam, tapi juga sumber daya ekonomi yang berharga.

Lewat Program "Perempuan, Mangrove, & Ekoturisme Berkelanjutan", sebanyak 30 perempuan dibekali keterampilan untuk menciptakan produk olahan mangrove bernilai jual tinggi serta bagaimana merancang ekoturisme pesisir yang berkelanjutan.

Program yang diselenggarakan pada Jumat-Sabtu, 26-27 September 2025 di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ini berjalan lancar dengan dukungan Pray Foundation, Ma-Ha Indonesia, dan Pratita Foundation.

Acara dibuka oleh Rektor Universitas Paramadina, Prof. Dr. Didik J Rachbini yang menegaskan pentingnya kesadaran lingkungan dan peran perempuan dalam memberikan dampak pelestarian lingkungan lebih luas.

“Isu tentang mangrove sangat penting. Di pesisir, tanaman ini cepat tumbuh dan sangat gampang, dan juga banyak orang-orang yang inisiatif menanam tanpa perlu teknologi tinggi,” jelas Prof. Didik.



Senada,Tokoh Perempuan, Pengusaha dan Mantan Perencana Strategis Dekranasda DKI Jakarta, Pratiwi Astar menginspirasi peserta dengan konsep manusia sebagai khalifah di muka bumi yang memiliki amanat untuk berbuat ishlah (perbaikan).

Pratiwi menyoroti ancaman nyata terhadap ekosistem mangrove mulai dari pembangunan yang tidak berkelanjutan, pencemaran dari hulu sungai, hingga rendahnya literasi ekologis masyarakat.

“Ekosistem mangrove terancam pembangunan yang tidak berkelanjutan, pencemaran dari hulu sungai serta rendahnya literasi ekologis masyarakat. Padahal, mangrove memiliki peran vital melindungi pesisir dari badai dan tsunami, menyerap karbon, serta menjadi sumber pangan dan menjadi bahan baku olahan yang bernilai ekonomi," kata Pratiwi.

Mencapai Keseimbangan antara Nilai Ekonomi dan Keadilan Ekologis

Ketua The Lead Institute Universitas Paramadina, Dr. phil Suratno memberikan pandangan kritis mengenai perkembangan industri pariwisata yang tidak berkelanjutan dan pentingnya mengedepankan keadilan ekologis.

Pariwisata, di satu sisi, adalah kegiatan rekreasi dan menjadi sumber ekonomi, tapi di sisi lain pariwisata juga bertransformasi menjadi industri yang "jor-joran" dan membawa petaka bagi kelestarian alam.

"Dalam konteks industri, pariwisata kemudian jor-joran, bangun gedung, jalan, jembatan tanpa memikirkan AMDAL. Dari situlah muncul pandangan kritis bahwa pariwisata yang jor-joran seperti ini akan bahaya, tidak sustainable,” jelas Suratno.

Peneliti The Lead Institute, Maya Fransiska, MA melalui presentasi bertajuk “Pemasaran Ekoturisme” menggarisbawahi strategi pemasaran haruslah sejalan dengan wawasan ekologis.

Maya menjelaskan, kerusakan lingkungan dan ekosistem terjadi karena banyak sebab, antara lain gagalnya tata kelola sampah dan tata kelola pembangunan destinasi wisata.

Karenanya, Maya menyampaikan tiga konsep utama pemasaran berkelanjutan yang dimulai dari pengarusutamaan keseimbangan manfaat bisnis, manfaat sosial, dan manfaat bagi lingkungan.

Kedua, tambah Maya, industri yang tidak eksplotitatif, yaitu membatasi secukupnya pemenuhan kebutuhan saat ini, sekaligus menjaga kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

"Pelaku industri pariwisata juga harus memperhatikan dampak positif atau negatif yang ditimbulkan proses produksi, pengemasan, konsumsi, dan siklus hidup produk secara keseluruhan," jelas Maya.

Mengubah Mangrove Menjadi Produk Bernilai Jual

Sesi pelatihan mengolah mangrove dipimpin oleh Pakar Mangrove Hani Dkoko, S.Si, M.Si dengan tema “Produk Olahan Mangrove: Teori dan Praktik”.

Hani menjelaskan bahwa rehabilitasi Mangrove menawarkan manfaat yang beragam, meliputi manfaat praktis seperti menahan abrasi, biologis, dan ekonomis.

Hani secara rinci memaparkan perbedaan jenis Mangrove yang dapat diolah. Ia menjelaskan Mangrove Sejati sebagai pembentuk utama ekosistem yang tumbuh di garis pantai terbuka dan menstabilkan garis pantai dengan salinitas tinggi.

Sementara itu, Mangrove Asosiasi adalah tumbuhan yang lebih toleran terhadap salinitas rendah, berada di wilayah transisi lebih dekat ke daratan, dan biasanya berada di balik Mangrove Sejati. Pemahaman zonasi ini krusial untuk menentukan jenis Mangrove yang dapat dipanen dan diolah.

Untuk memastikan produk olahan Mangrove dapat bersaing, sesi dilanjutkan dengan materi “Desain Kemasan dan Produk Olahan” yang dibawakan oleh Pakar Digital Branding, Suandri Ansah yang menyoroti urgensi pengemasan, terutama bagi produk rumahan berwawasan lingkungan.

Suandri menekankan dua fungsi utama kemasan, yakni fungsi praktis dan fungsi komunikatif. Menurutnya, kemasan bukan hanya untuk melindungi, tetapi juga sebagai media komunikasi merek dan “wajah” produk yang mampu mempengaruhi keputusan pembelian konsumen, termasuk untuk kemudahan penyimpanan atau pemajangan produk.

“Efektivitas dan efisiensi suatu kemasan penting ditujukan kepada konsumen maupun distributor. Misalnya, untuk kemudahan penyimpanan atau pemajangan produk,” ujar Suandri.

Setelah sesi teori, Hani Dkoko kembali memimpin praktik langsung pengolahan Mangrove. Para peserta diajak melihat berbagai contoh produk olahan mangrove yang bernilai jual dan kemudian praktik mengolahnya.

Produk yang dilatih meliputi sirup, selai, permen jeli, keripik, tepung, teh, hingga pewarna alami untuk batik. “Asyik karena sambil praktik… nggak nyangka, mangrove ternyata enggak cuma buat mencegah badai dan tsunami tapi juga punya nilai ekonomis," kata Ibu Ida Suwaidah

“Puas banget bisa sekaligus icip-icip kripik, teh, kopi, sirup, selai mangrove... tadi bikin kacang mangrovenya kriukkk banget, hijau segar dan bergizi. Hasil sablon kaos sama jilbab pakai pewarna alami mangrove juga kelihatan so sweet,” kata peserta Ibu Nurul Fatiha.

Ibu Bariyatul Nisa berharap ada semacam koperasi berbasis komunias, misalnya Komunitas Dewi Laut yang digagas The Lead Institute Universitas Paramadina sebagai wadah aktivitas ibu-ibu terkait lingkungan dan olahan mangrove.

Sementara Ibu Sakinah Mawaddah dan Ibu Khairun Niswah berharap The Lead Institute dan Paramadina bersedia membimbing ibu-ibu Tidung dan menyebarkan praktik ini ke pulau-pulau yang lain.

Rangkaian kegiatan ditutup dengan demonstrasi komitmen kolektif, peserta dan tim The Lead Institute melakukan Aksi Lapangan Bersih-Bersih Pantai sebagai komitmen kepedulian terhadap lingkungan dan kelestarian laut.

Puncak penutupan adalah pembacaan Deklarasi Komunitas Dewi Laut yang dipimpin oleh Dida Darul Ulum. Deklarasi ini memuat empat komitmen utama yakni melindungi makhluk laut, menjaga keseimbangan alam, menjadi pelindung bagi nelayan, serta berdiri sebagai simbol kekuatan dan kelestarian laut yang tak terhingga. [*]

Universitas Paramadina - www.paramadina.ac.id

Komentar