Terbitkan Izin Usaha Tambang untuk Ormas Keagamaan, Apakah Jokowi Bisa Dimakzulkan?

- Minggu, 09 Juni 2024 | 13:30 WIB
Terbitkan Izin Usaha Tambang untuk Ormas Keagamaan, Apakah Jokowi Bisa Dimakzulkan?

Bagi Luhut, rencana Bahlil itu bertentangan dengan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara atau UU MInerba. 


Perdebatan itu mengantarkan pada Luhut yang menuding Bahlil memiliki konflik kepentingan dalam pemberian WIUPK untuk ormas keagamaan.


Pelepasan PKP2B


Menyoal tambang eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), Yusri mengatakan, sebelumnya relinquish atau pelepasan lahan PKP2B dijadikan sebagai Wilayah Pencadangan Negara (WPN), untuk dapat dijadikan konversi energi dan cadangan ketahanan energi di masa depan.


"Tetapi muncul kebijakan aneh, lahan relinquish (pelepasan) justru akan diberikan kepada Ormas keagamaan. Perkiraan kami jika ini terjadi maka produksi batubara nasional pada akhir tahun 2024 akan mendekati 1 miliar metrik ton per tahun," ungkap Yusri.


Sebab, kata Yusri, berdasarkan Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) selama 3 tahun yang dikeluarkan oleh Ditjen Minerba Kementerian ESDM diperoleh jatah produksi tahun 2024 sebesar 922 juta metrik ton, pada tahun 2025 sebesar 912 juta metrik ton dan pada tahun 2026 sebesar 920 juta metrik ton yang merupakan produksi dari 508 IUP dan IUPK batubara, angka itu di luar produksi tambang Ormas keagaamaan jika berjalan. "Edan opo?" ketus Yusri.


"Padahal menurut Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang dibuat oleh Dewan Energi Nasional (DEN) dan dipertegas dalam Perpres Nomor 22 Tahun 2017 bahwa rencana produksi batubara nasional akan dikelola pada level 400 juta metrik ton per tahun dan akan dikurangi secara bertahap dengan meningkatkan porsi energi terbarukan, untuk tujuan menekan emisi gas buang kaca, tetapi faktanya terbalik, kok gak konsisten ya?" tanya Yusri.


Padahal, kata Yusri, diketahui khalayak bahwa Ketua DEN adalah Presiden RI, Ketua Harian DEN adalah Menteri ESDM dan Sekjen DEN adalah mantan Dirjen Migas Kementerian ESDM.


Indonesia Cemas, Bukan Indonesia Emas

Lebih lanjut Yusri mengutarakan ia setuju dan memberi apresiasi kebijakan Mantan Menteri Lingkungan Hidup A Sonny Keraf, yang juga merupakan Ketua Tim DPR RI saat pembahasan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, sedang wakil dari Pemerintah waktu itu tak lain adalah Dirjen Minerba Dr Simon Sembiring.


"Kalau IUP Eksplorasi otomatis menjadi IUP OP, termasuk Ormas keagamaan, maka yang terjadi produksi batubara nasional akan pada level 1 milyar metrik ton."


"Dengan cadangan 35.5 milyar metrik ton (2022-badan geologi) dan belum lagi dikoreksi atas harga, infrastruktur, kedalaman dan hilangnya akibat pengurangan overburden, distance terhadap keekonomian, maka saya yakin rasio produksi nasional sebatas 25 tahun sudah bagus," beber Yusri.


Menurut Yusri, ia setuju dengan pendapat Sonny Keraf bahwa nasib produksi batubara akan sama nasibnya dengan industri minyak bumi. EBT (Energi Baru Terbarukan) belum berhasil karena BPP (Biaya Pokok Produksi) masih tinggi.


"Atas dilema energi itu, kita akan pusing dan terjebak dengan kebijakan sendiri yang salah, daya jangkau masyarakat belum mampu diangkat untuk membayar harga listrik EBT. Akhirnya bukan “Indonesia Emas” yang terbangun tapi bisa terjadi “Indonesia Cemas”," ungkap Yusri.


Jokowi Harusnya Revisi UU Minerba, Bukan Terbitkan IUP Tambang


Sebelumnya, menyangkut organisasi kemasyarakatan (Ormas) bisa mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) melalui perusahaannya, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara ini tidak perlu ada.


Sebab, UU Nomor 3 Tahun 2020 sudah menyebutkan bahwa IUP bisa diberikan kepada perorangan, koperasi atau badan usaha berbadan hukum.


"Jadi UU itu sendiri sudah memberikan kemungkinan berusaha bagi setiap perusahaan yang berbadan hukum. Jadi kalau Ormas punya perusahaan berbadan hukum, otomatis berhak mengajukan IUP. Oleh sebab itu, menurut kami PP ini hanya tipu menipu penguasa kepada Ormas."


" Barangkali seolah-olah memberi imbal jasa atas dukungan politik yg berkuasa?," ungkap Mantan Dirjen Minerba Dr. Simon F Sembiring, Sabtu (1/6/2024) di Jakarta.


Simon mengungkapkan, tentang membuka peluang bagi PT Freeport Indonesia (PTFI) dan lainnya untuk diperpanjang sampai dengan habis cadangannya, ini juga menyalahi UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020.


"Harusnya UU yang dirobah, bukan PP. Cadangan tidak pernah tahu keseluruhan pada masa 8 tahun eksplorasi pertama. Jadi masa produksi 30 tahun sudah cukup alasan, tidak ada keharusan memperpanjang! Kalau eksplorasi pada saat masa produksi, itu menjadi investasi yang dapat dikonsolidasi jadi cost/biaya sehingga bisa mengurangi profit yang berakibat mengurangi pajak alias mengurangi penerimaan negara," beber Simon.


Demi Mengakomodir Kepentingan Freeport

Mantan Dirjen Minerba Dr Simon Sembiring menegaskan, jika disimak secara mendalam PP 25/2024, pada Pasal 109 ayat (3) dan (4) tentang IUPK, BUMN atau anak perusahaan BUMN memohon perpanjangan diajukan kepada Menteri paling cepat dalam jangka waktu lima tahun atau paling lambat dalam jangka waktu satu tahun sebelum berakhirnya jangka waktu operasi produksi.


"Bandingkan dengan Pasal 195B. Ini betul mengakomodir PT Freeport Indonesia (PTFI). Baca ayat(1), ayat (2) dan ayat (3). Khusus ayat (3), permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu kegiatan operasi produksi," ungkap Simon.


Berarti, kata Simon, setiap saat bisa memohon perpanjangan dengan kriteria ayat (1). Nah antara BUMN dan anak perusahaannya (pasal 109) diskriminatif dengan Pasal 195 B ini. Secara hukum, kalau ada dislriminasi itu batal demi hukum.


"BUMN sahamnya dimiliki Pemerintah antara 65 persen hingga 100 persen, baik yang listing atau tidak, hanya bisa mengajukan perpanjangan paling cepat lima tahun atau paling lambat setahun sebelum habis masa operasinya," ungkap Simon.


RPP KEN Tak Relevan?


Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Dina Nurul Fitria, mengungkapkan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional (KEN) akan disahkan dalam masa sidang V DPR RI


Terkait hal itu, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho mengutarakan, kalau pemerintah tidak mengontrol dan mengendalikan produksi batubara, ditambah lagi memberikan konsesi tambang ke Ormas keagamaan, pada akhirnya produksi batubara akan lebih dari 1 miliar metrik ton per tahun.


"Kami khawatir RPP KEN, yang menjadi landasan transisi energi di Indonesia dan ditargetkan akan disahkan dalam waktu dekat, sudah tidak relevan, khususnya aspek batubara. Karena di hulu, produksi batubaranya tidak terkontrol. Ini hanya mengulang pelanggaran Pemerintah terhadap kebijakan Perpres 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang membatasi produksi batubara di angka 400 juta ton mulai tahun 2019," ungkap Aryanto


Sumber: Tribunnews

SEBELUMNYA

Halaman:

Komentar