Skema tambang yang menguntungkan elite tapi merugikan warga lokal bukan hal baru. Di Morowali, Konawe, dan Halmahera, pola serupa muncul. Korporasi menguasai aset, warga digaji murah, dan kerusakan ekologis dijustifikasi sebagai “konsekuensi pembangunan.”
Jejak Oligarki: Dari Main Ide, Inalum, hingga Politik Izin
Dalam jaringan kekuasaan tambang, negara bukan pemilik, tapi fasilitator.
Inalum, Main Ide, dan perusahaan-perusahaan tambang lain bergerak di bawah selubung koneksi politik.
Nama-nama seperti Luhut dan Bahlil muncul dalam struktur formal dan informal bisnis tambang.
Bahkan, laporan investigasi menyebut adanya praktik jual beli izin sebagai properti politik.
Dugaan penyelundupan bijih nikel ke China sebesar Rp14,5 triliun yang dilaporkan Faisal Basri menambah daftar hitam praktik mafia tambang yang beroperasi di bawah perlindungan negara.
Keuntungan Oligarki, Negara Rugi
Lebih dari 90% pasar nikel Indonesia dikuasai pihak swasta, terutama dengan keterkaitan elite politik. Negara justru mendapatkan porsi kecil dari keuntungan.
Sementara itu, izin-izin tambang didistribusikan seperti kartu undangan musim pemilu—sebagai alat barter politik antarpartai seperti PDIP dan Golkar. Tambang berubah menjadi komoditas kekuasaan, bukan alat kesejahteraan.
Pembelaan Negara: Statistik Kosong dan Logika Formal
Pemerintah berdalih bahwa penurunan angka kemiskinan di Sulawesi membuktikan bahwa tambang membawa kesejahteraan.
Surat edaran Mei 2020 yang menganjurkan ormas keagamaan untuk mendukung tambang juga jadi alat legitimasi.
Tapi di balik itu, suara nelayan, suku lokal, dan ekosistem yang rusak tetap tak terdengar.
Membangun Ketahanan Sosial dan Ekologis
Skandal Raja Ampat bukan hanya kasus lingkungan. Ini adalah cermin telanjang bagaimana kekuasaan di era Jokowi dijalankan melalui algoritma politik-ekonomi yang dikendalikan oleh elite dan oligarki. Ini bukan sekadar konflik tambang, tapi krisis kepercayaan publik.
Parlemen harus mengambil peran. Pengawasan terhadap kementerian investasi dan pertambangan harus diperketat.
Penegakan hukum tak boleh berhenti di level operator, tapi harus menyasar aktor utama di balik meja kekuasaan. Para pelaku penyelundupan dan pemegang izin palsu harus diadili.
Evaluasi menyeluruh terhadap kawasan Geopark mesti dilakukan, dengan pendekatan berbasis hak rakyat dan kelestarian lingkungan.
Penutup: Monumen dari Kehancuran
Raja Ampat adalah saksi bisu dari persekongkolan antara negara dan korporasi.
Ia kini menjadi monumen dari proyek pembangunan yang mengkhianati prinsip keadilan ekologis.
Di atas batu karang yang runtuh dan laut yang mati, sejarah mencatat jejak kelam Jokowi dan para pewaris kekuasaannya.
Dalam era pasca-Jokowi, bangsa ini punya dua pilihan: terus melayani kepentingan elite, atau kembali menjadi negara yang melindungi hak hidup rakyat dan keberlanjutan bumi pertiwi. Kita tak bisa memilih keduanya. ***
Artikel Terkait
Tantangan Besar Prabowo: Bisakah Hantu Whoosh dan IKN Dibereskan?
DPR Desak Aturan Umrah Mandiri: Perlindungan Jamaah atau Industri Terguncang?
Kemensos Perbarui Data Tunggal Sosial: Kunci Bansos Tepat Sasaran & Antisipasi Bencana
Usul Mencengangkan: Pemilu 2029 Bisa Dicoblos 1 Minggu, Ini Kata Politikus PKS!