ADA JEJAK GENG SOLO DI BALIK AKSI BRUTAL 25 AGUSTUS?
Oleh: Edy Mulyadi
Wartawan Senior
Ribuan massa mengepung Gedung DPR pada 25 Agustus 2025. Dari pelajar, mahasiswa, hingga pekerja harian tumpah ruah menyuarakan frustrasi.
Pemicu awalnya kenaikan tunjangan anggota DPR yang dianggap mencolok di tengah beban hidup rakyat.
Namun cepat meluas. Tuntutannya ekstrem: pembubaran DPR, hukuman mati koruptor, pengesahan UU perampasan aset.
Tak sedikit poster bertuliskan “Turunkan Prabowo” berkibar di tengah kerumunan.
Demo ini berlangsung dari pagi hingga malam. Slipi, Pejompongan, hingga Jalan Gatot Subroto berubah jadi arena bentrokan.
Massa merusak fasilitas, memblokir jalan, melumpuhkan transportasi umum seperti KRL dan TransJakarta.
Anehnya, aparat bersikap relatif lunak. Tak ada korban jiwa. Tidak represif dan beringas, seperti biasanya.
Pertanyaan pun muncul: mengapa pola pengamanan kali ini berbeda?
Lebih janggal lagi, seruan aksi menyebar masif lewat media sosial tanpa koordinator jelas. Sejumlah televisi swasta menayangkan siaran langsung berjam-jam tanpa jeda iklan.
Seakan ada “remote control” yang mengatur panggung. Ada blocking time? Berapa biayanya? Apakah ini murni gerakan organik, atau ada pihak yang sengaja mengamplifikasi?
Ada Geng Solo di balik demo? Anda pasti tahu Geng Solo, kan? Bukan rahasia, sebagian elite politik dan menteri di kabinet Prabowo masih “menyembah” Jokowi.
Mereka masih secara rutin sowan ke Solo. Terutama saat Prabowo melawat ke luar negeri. Mereka berpengaruh. Lihai memainkan opini. Piawai mengatur dan memanfaatkan momentum.
Orkestrasi Pembusukan Prabowo
Rangkaian kebijakan kontroversial belakangan kian memperkuat dugaan itu. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sempat melarang penjualan LPG 3 kg di pengecer. Rakyat antre berjam-jam.
Bahkan ada yang meninggal karena kelelahan. Kebijakan sama sekali tak bijak itu akhirnya memang dibatalkan atas arahan Prabowo. Tapi luka sosial sudah telanjur terjadi.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga bikin gaduh. Empat pulau di Aceh Singkil awcraa sepihak ditetapkan masuk Provinsi Sumatera Utara.
Publik Aceh murka. Gubernur Muzakir Manaf menulis surat terbuka kepada Presiden. “Pulau Kami Harga Diri Kami,” begitu judulnya. Potensi konflik horizontal terbuka. Setelah protes besar, Tito merevisi.
Artikel Terkait
Serakahnomics: Ancaman Penjajahan Gaya Baru yang Wajib Kita Tolak Bersama!
Gaji DPR Cair Seumur Hidup, Benarkah Adil? Prof Faisal Santiago Beberkan Fakta Mengejutkan
Misteri Kekhawatiran Misbakhun Terhadap Gaya Bicara Menkeu Purbaya
Jokowi dan Prabowo Bertemu, Ini 5 Fakta di Balik Pertemuan yang Bikin Penasaran!