Sebab mereka khawatir terhadap posisinya karena sejak awal legitimasi mereka sangat lemah sebab prosesnya tidak transparan, tidak adil, dan tidak terbuka.
Ia menyatakan, tudingan semacam ini merupakan kecenderungan pola militeristik dalam sistem demokrasi.
Padahal dalam sistem demokrasi yang baik, semua orang bebas untuk berbicara, berkumpul, menyampaikan pendapat dan itu dijamin oleh institusi.
“Seseorang yang berpendapat tidak bisa diperkarakan secara hukum,” paparnya.
Tuduhan tanpa bukti ini menurut sudut pandang Munjid, dipakai untuk melumpuhkan lawan politik atau membungkam siapapun yang berseberangan dengan rezim.
Menurutnya, masyarakat harus lebih aktif, lebih kritis, bersuara, dan berpartisipasi karena demokrasi itu hanya bisa ditegakkan kalau masyarakat aktif terlibat dalam proses politik.
“Elite tidak boleh melihat partisipasi aktif politik rakyat atau masyarakat umum itu sebagai ancaman,” ujarnya.
Munjid menilai capaian agenda reformasi yang diraih tahun 1998 lalu kini mengalami kemunduran terutama dalam hal ruang kebebasan berpendapat, maraknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta munculnya gejala dwi fungsi ABRI.
"Upaya penangkapan diam-diam atau beberapa orang hilang yang terlibat demonstrasi, tak bisa dipungkiri bahwa itu bagian dari intimidasi dan represi terhadap kebebasan berbicara. Karena itu, gerakan demokrasi harus lebih aktif, harus lebih solid, konsolidasi masyarakat sipil harus bergerak lebih terarah untuk bisa mengontrol rezim agar tidak ada yang sewenang-wenang menyalahgunakan kekuasaan,” pungkasnya.
Sumber: Fajar
Artikel Terkait
PAN Rekrut Menkeu Purbaya, Strategi Magnet Pemilu 2029?
Roy Suryo Kritik Wapres Gibran Mancing di Hari Sumpah Pemuda, Sebut Biaya Besar
Dukung Perpanjangan Kereta Cepat Whoosh ke Surabaya, Ini Kata Pemerhati Transportasi
Purbaya Yudhi Sadewa: Ancaman Serius bagi Prabowo-Gibran di Pilpres 2029?