Menurutnya, sangat wajar jika DPR menjadi sasaran kritik ketika dianggap keliru.
“Menempatkan TNI di DPR memberi kesan intimidasi terhadap masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi,” kata Ardi dalam pernyataannya.
Ia juga mengingatkan bahwa urusan keamanan dan ketertiban masyarakat adalah domain kepolisian, bukan TNI.
Pelibatan TNI dinilai melanggar konstitusi sekaligus mengaburkan fungsi utama tentara sebagai alat pertahanan negara.
Polemik Lama yang Kembali Muncul
Perdebatan tentang batasan peran TNI dan Polri bukan isu baru.
Sejak reformasi, wacana supremasi sipil terus digaungkan, salah satunya dengan memisahkan fungsi TNI dan Polri pada 1999.
Namun, praktik di lapangan sering kali memperlihatkan area abu-abu, terutama dalam situasi politik sensitif atau ketika pemerintah ingin menegaskan wibawa negara.
Kehadiran TNI di DPR kini dinilai sebagai bagian dari pola lama yang berpotensi membuka ruang kembalinya dwifungsi.
Bagi masyarakat, persoalan ini bukan sekadar teknis hukum, melainkan soal rasa aman.
Apakah tentara menjaga parlemen demi keamanan, atau justru menutup ruang kritik? Inilah pertanyaan besar yang kini bergema di ruang publik.
Kontroversi penjagaan gedung DPR oleh TNI membuka kembali diskusi tentang peran militer dalam ruang sipil.
Di satu sisi, pemerintah menegaskan langkah ini sesuai aturan hukum dan hanya bersifat bantuan.
Di sisi lain, masyarakat sipil khawatir hal ini mencederai kebebasan berpendapat.
Ke depan, transparansi alasan pengerahan TNI menjadi kunci.
Pemerintah perlu menjelaskan secara detail kapan, bagaimana, dan sampai kapan tentara dilibatkan agar polemik tidak semakin meluas.
Pada akhirnya, DPR sebagai rumah rakyat semestinya tetap terbuka bagi kritik.
Sebab, demokrasi hanya bisa berjalan sehat jika ruang aspirasi tidak dibatasi, baik oleh pagar besi maupun seragam loreng.
Sumber: HukamaNews
Artikel Terkait
DPR RI Batal Pecat 5 Anggotanya Terkait Kasus Tunjangan Rp50 Juta dan Unjuk Rasa 2025
Said Didu Nilai Pernyataan Prabowo Soal Kasus Whoosh Berisiko, Bisa Dianggap Melindungi Pihak Terduga
Putusan MKD: Sahroni, Eko Patrio, dan Nafa Urbach Kena Sanksi Nonaktif, Adies Kadir & Uya Kuya Diaktifkan
Mahfud MD Kritik Sri Mulyani Soal Kasus TPPU Rp 349 Triliun: Dinilai Protektif ke Pegawai