Akibatnya, ribuan posisi yang seharusnya diisi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) kini ditempati oleh anggota Polri aktif.
Hal ini tidak hanya menghilangkan ribuan kesempatan kerja bagi warga sipil, tetapi juga menciptakan paradoks di internal Polri sendiri.
"Di satu sisi masih membutuhkan 350.000 personil, tapi pada saat yang sama mengeluarkan 4.351. Kapan mau nyampai jumlah itu?" kritiknya.
Lebih jauh, Ponto menilai kebijakan ini telah secara efektif mengubah esensi Polri dari alat negara yang netral menjadi "alat presiden".
"Kepolisian itu sebetulnya bukan alat presiden, tapi alat negara," tegasnya.
Ketika penempatan tersebut didasarkan pada perintah presiden, maka keuntungan dari penempatan itu akan kembali kepada presiden sebagai pemerintah, bukan kepada negara secara institusional.
Hal ini menempatkan Polri dalam posisi yang sangat politis dan rentan disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan.
Sumber: Konteks
Artikel Terkait
Survei: 41% Publik Tak Percaya DPR RI, Lembaga Paling Tidak Dipercaya
Sistem Rujukan Berjenjang BPJS Dinilai Merugikan Pasien: Ini Solusinya
Fakta & Kontroversi Ijazah Jokowi: Mengapa Tak Ditunjukkan ke Publik?
Presiden Prabowo Beri Rehabilitasi untuk 2 Guru Luwu Utara, Rasnal dan Abdul Muis