Pertama, ketimpangan manfaat antarwilayah. Dana yang sangat besar hanya dialokasikan untuk melayani jalur Jakarta-Bandung, yang dinilai sangat tidak adil bagi masyarakat di daerah lain yang juga membutuhkan sarana transportasi memadai.
Kedua, dampak terhadap layanan kereta api lain. Ketika PT KAI dipaksa untuk menutupi kerugian Whoosh, hal ini akhirnya menggerogoti layanan di sektor lain, seperti KRL dan jalur antarkota.
Keputusan yang Mengabaikan Kajian Teknokratis
Sulfikar menilai proyek Whoosh disetujui tanpa perhitungan matang. Keputusan untuk memaksakannya mencerminkan gaya kepemimpinan Jokowi yang mengutamakan kehendak pribadi dibandingkan kajian yang rasional.
"Jokowi merasa bisa mengubah Indonesia dengan membawa teknologi dari Cina. Tapi ketika diberitahu bahwa proyek ini tidak layak, biayanya terlalu tinggi, dan ada alternatif lain, dia tidak peduli," tegas Sulfikar.
Ia menambahkan, "Dia menggunakan kekuasaannya, akhirnya menghasilkan keputusan yang sekarang membebani negara dan punya dampak terhadap banyak warga Indonesia."
Artikel Terkait
Purbaya Tolak Perintah Dedi Mulyadi: Diduga Ada yang Tidak Jujur dari Anak Buahnya?
Rocky Gerung Beberkan Potensi Pidana Jokowi Terkait Dugaan Mark Up Proyek Kereta Cepat Whoosh
Bahlil Ungkap Masa Lalu Kelam: Dulu Saya Pernah Alami Busung Lapar!
Luhut Dituding Mencla-Mencle Soal Whoosh, Pengamat Desak Audit Segera!