Sejalan dengan hal ini, Krishna selaku CIO Privy mengelaborasikan peran sektor publik dan swasta dalam kolaborasi pengembangan identitas digital yang aman dan inovatif.
“Sektor swasta seperti Privy, sebagai penyedia layanan digital identity berperan mendorong inovasi. Sementara sektor publik seperti Kominfo memiliki peran sentral dalam meregulasi dan melakukan pengawasan kepada PSrE agar menyediakan layanan yang sesuai dengan standar keamanan dan ketentuan yang berlaku,” lanjut Krishna.
Diskusi tersebut juga membahas revisi kedua UU ITE Nomor 1 Tahun 2024 pasal 17 ayat 2a yang mewajibkan semua transaksi elektronik berisiko tinggi untuk diamankan dengan TTE tersertifikasi.
Berdasarkan penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa transaksi elektronik yang “berisiko tinggi” antara lain meliputi transaksi keuangan yang tidak dilakukan secara tatap muka dan fisik.
Baca Juga: Acer Manufacturing Indonesia Terus Dorong Inovasi dan Semakin Fokus Pada Keberlanjutan
Meskipun demikian, Wamenkominfo menegaskan perlunya memperjelas parameter risiko pada transaksi elektronik. “Intinya, masih perlu didiskusikan lebih lanjut tentang transaksi elektronik berisiko tinggi dengan para pemangku kepentingan.
Perlu disepakati bersama terkait spektrum risiko tinggi ini meliputi transaksi apa saja yang harus diamankan dengan TTE tersertifikasi, sehingga menjadi industri bisnis yang aman, teratur dan sehat,” ujar Nezar.
Artikel ini telah lebih dulu tayang di: jakarta.suaramerdeka.com
Artikel Terkait
Kredit Perumahan Mandek, Menteri Keuangan Khawatirkan Daya Beli Masyarakat
Bursa Asia Anjlok: Penyebab, Dampak ke Indonesia, dan Prediksi ke Depan
Analisis IHSG Hari Ini: Proyeksi 8.150-8.350 Dipicu Data Ekonomi Q3 2025 & Rebalancing MSCI
Semangat Cokroaminoto & Program Koperasi Desa Merah Putih: Strategi Menkop Ferry Bangun Ekonomi Umat