Bantuan PIP yang seharusnya merupakan hak konstitusional dan menggunakan dana APBN (uang rakyat), seringkali dikemas seolah-olah sebagai "pemberian" atau "jasa" politisi tertentu. Pembagian yang disertai atribut politik seperti foto atau logo partai dapat membentuk persepsi keliru di masyarakat, seakan mereka berutang budi secara politik. Ini merupakan bentuk halus dari praktik pembelian suara (vote buying).
2. Penyalahgunaan Wewenang (Abuse of Power)
Anggota dewan tidak memiliki alat verifikasi data kemiskinan yang komprehensif seperti Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Keterlibatan mereka berisiko tinggi menimbulkan kolusi, di mana usulan penerima lebih didasarkan pada loyalitas politik atau kedekatan kekerabatan, bukan kondisi ekonomi yang sesungguhnya.
Dampak Sistemik: Distorsi Keadilan dan Kepercayaan Publik
Politisasi PIP Aspirasi bukan sekadar pelanggaran prosedural, tetapi masalah sistemik yang mengikis tujuan program.
- Sasaran Melenceng: Bantuan menjadi berbasis dukungan politik, bukan kebutuhan riil. Akibatnya, banyak keluarga miskin yang layak justru terlewatkan karena tidak memiliki koneksi politik.
- Merusak Kepercayaan: Masyarakat mulai memandang akses pendidikan sebagai sesuatu yang bisa dinegosiasikan secara politik, bukan sebagai kewajiban negara yang adil. Lembaga seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) telah menyoroti risiko korupsi dalam mekanisme serupa.
Rekomendasi untuk Mengembalikan Marwah Program Indonesia Pintar
Agar PIP kembali fokus sebagai program kesejahteraan murni, diperlukan langkah-langkah korektif:
- Pengembalian Fungsi Pengawasan DPR: Komisi X harus konsisten menjalankan fungsi pengawasan, memastikan Kementerian Pendidikan menjalankan PIP dengan data yang akurat (DTKS) dan transparan, bukan turun menentukan penerima.
- Sentralisasi dan Integrasi Data: Penentuan penerima harus sepenuhnya dikembalikan kepada eksekutif (Kementerian Pendidikan) dengan mengandalkan data terpadu seperti DTKS dan P3KE, yang diperbarui secara berkala.
- Audit dan Transparansi Maksimal: Perlu audit rutin untuk membandingkan kelayakan penerima jalur aspirasi dengan reguler. Pemerintah juga harus menyediakan portal terbuka yang menampilkan informasi penyaluran PIP sebagai murni program APBN, tanpa embel-embel atribut politik apa pun.
Catatan Penutup: Program Indonesia Pintar harus hadir sebagai wajah negara yang adil dan melayani semua warga berdasarkan kebutuhan. Pendidikan adalah hak dasar, bukan alat transaksi politik. Sudah saatnya mekanisme yang berpotensi merusak tujuan mulia PIP ini dikaji ulang dan diperbaiki untuk masa depan bangsa yang lebih cerah.
(Engkos Kosasih, Wartawan Senior)
Artikel Terkait
Danantara Akuisisi Hotel & Lahan di Makkah: Solusi Akomodasi Strategis untuk Jamaah Indonesia
Ijazah Asli Jokowi Disita Polda Metro Jaya: Bukti dan Fakta Terbaru
Viral Momen Zulkifli Hasan Makan Sate Tubaka di Aceh, Disindir Mirip Robert De Niro
Prabowo Tolak Bantuan Asing Bencana Sumatra: Alasan & Langkah Penanganan Pemerintah