Kembalinya Dwifungsi TNI dan Corak Militeristik Pemerintahan Prabowo-Gibran

- Jumat, 21 Februari 2025 | 07:40 WIB
Kembalinya Dwifungsi TNI dan Corak Militeristik Pemerintahan Prabowo-Gibran

Selain itu, kata Ikhsan, perubahan ini juga dapat menjadi legitimasi kebijakan keliru dalam pelibatan dan mobilisasi TNI dalam menjalankan program-program pemerintahan Prabowo dalam urusan sipil dan domestik, seperti makan bergizi gratis (MBG), distribusi gas elpiji, ketahanan pangan, penjagaan kebun sawit, pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) serta penertiban dan penjagaan kawasan hutan bahkan sampai pengelolaan ibadah haji.


‘Koalisi menilai kebijakan tersebut dapat membuat TNI berhadapan secara langsung dengan masyarakat lokal dan adat serta berisiko menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM),” tukasnya.


Penguatan militerisme pada ruang-ruang sipil di awal pemerintahan Prabowo, masih kata Ikhsan, memperlihatkan watak dan substansi dwifungsi militer yang masih kental.


“Sebab pemerintah menempatkan militer sebagai solusi atas semua problematika pembangunan (baca: supremasi militer), sehingga pelibatan militer dianggap menjadi manifestasi akselerasi pembangunan. 


Paradigma ini memperlihatkan pejabat pemerintah masih menempatkan kondisi Orde Baru sebagai patokan dalam pembangunan melalui dwifungsi ABRI ketika itu. Padahal berbagai perkembangan konsep pemerintahan, seperti good governance hingga collaborative governance dapat menjadi konsep menuju pembangunan yang demokratis,” urainya.


“Penempatan TNI di luar fungsinya sebagai alat pertahanan negara tidak hanya salah, tetapi akan memperlemah profesionalisme TNI itu sendiri. Profesionalisme dibangun dengan cara meletakkan TNI dalam fungsi aslinya sebagai alat pertahanan negara dan bukan menempatkannya dalam fungsi dan jabatan sipil lain yang bukan merupakan kompetensinya,” lanjut dia.


Dampak lain dari penempatan prajurit TNI aktif pada jabatan sipil dan urusan sipil-domestik, tutur Ikhsan, adalah mengenai akuntabilitas dan transparansi.


“Koalisi menilai sampai saat ini tidak ada satu cabang kekuasaan atau lembaga apa pun yang dapat mengawasi TNI secara efektif, sekalipun itu DPR RI. Terlebih jika terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh TNI selama melaksanakan tugas pada jabatan sipil dan urusan sipil-domestik,” tukasnya.


Selain itu, ucap Ikhsan, kebijakan seperti ini juga dapat membuat hubungan sipil-militer menjadi tegang karena perubahan ini akan merusak pola organisasi, jenjang karir atau kebijakan dan manajemen ASN karena ceruk prajurit TNI untuk mengambil alih semua jabatan sipil yang tersedia semakin luas.


Kedua, penambahan usia pensiun prajurit TNI. Usulan perubahan Pasal 53 ayat (2) yang menambah masa usia pensiun prajurit TNI dari 58 menjadi 60 tahun untuk perwira, serta dari 53 menjadi 58 tahun untuk bintara dan tamtama​.


“Usulan tersebut akan memicu inefisiensi pada tubuh TNI, dapat menambah beban anggaran di sektor pertahanan, menghambat regenerasi, serta membuat macet jenjang karir dan kepangkatan. Kondisi tersebut akan melanggengkan masalah klasik di mana ada penumpukan (surplus) perwira TNI non-job. 


Alih-alih melakukan kebijakan percepatan pensiun terhadap perwira TNI non-job, perubahan usia pensiun ini juga akan berpotensi mengkaryakan mereka di luar instansi militer seperti pada jabatan sipil dan urusan sipil-domestik lainya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,” terangnya


Ketiga, adanya upaya politisasi militer yang tertuang dalam Pasal 53 ayat (3). 


Pasal ini memungkinkan perpanjangan masa jabatan bagi perwira tinggi bintang empat berdasarkan keputusan presiden​ yang akan membuat perwira tinggi bintang empat tersebut rentan digunakan dalam agenda politik kekuasaan.


“Mengingat Prabowo memiliki latar belakang militer, langkah ini semakin memperkuat dugaan bahwa revisi UU TNI didorong oleh kepentingan elite tertentu, bukan demi profesionalisme TNI. Jika revisi ini tetap dijalankan, maka Indonesia akan menghadapi ancaman kembalinya dwifungsi ABRI dalam politik dan pemerintahan, yang bertentangan dengan cita-cita reformasi," ucapnya.


Berdasarkan pandangan tersebut, Koalisi RSK mendesak pemerintah untuk menghentikan pembahasan revisi UU TNI. 


“Seharusnya DPR dan pemerintah tidak melanjutkan pembahasan revisi UU TNI dan memfokuskan pada mendorong agenda reformasi TNI yang mengalami regresi, membentuk UU Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (koter), melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI, serta membangun sistem pengawasan internal dan eksternal terhadap TNI yang efektif, akuntabel dan transparan,” sarannya.


Adapun Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri atas Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, Setara Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, LBH Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). ***

Halaman:

Komentar