Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 di Tengah Pandemi: Keputusan untuk tetap menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember 2020, meskipun pandemi COVID-19 masih berlangsung, mendapat kritik dari berbagai pihak. Organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menyarankan penundaan Pilkada untuk mencegah potensi peningkatan penularan virus. Namun, pemerintah dan DPR tetap melanjutkan agenda tersebut, menimbulkan kekhawatiran akan kesehatan dan keselamatan publik.
Penunjukan Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Kesehatan: Pada Desember 2020, Presiden Jokowi merombak kabinetnya dan menunjuk Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Kesehatan, menggantikan Terawan Agus Putranto. Penunjukan ini menuai kontroversi karena Budi Gunadi Sadikin berlatar belakang bankir dan bukan seorang dokter. Beberapa pihak meragukan kemampuannya dalam menangani sektor kesehatan, terutama di tengah pandemi.
Upaya Konsolidasi Kekuasaan Pasca-Kepresidenan: Menjelang akhir masa jabatannya, Presiden Jokowi diduga berupaya membentuk basis kekuasaan politik pasca-kepresidenan. Spekulasi ini muncul setelah pengunduran diri mendadak Airlangga Hartarto, ketua Partai Golkar, yang diduga terkait dengan tekanan politik dan investigasi korupsi. Langkah-langkah ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi pengaruh Jokowi yang berkelanjutan dalam politik Indonesia setelah masa jabatannya berakhir.
Pelemahan Institusi Demokrasi dan Kembalinya Politik Patronase: Selama satu dekade kepemimpinannya, Presiden Jokowi dikritik karena dianggap melemahkan institusi demokrasi dan menghidupkan kembali praktik politik patronase serta dinasti politik. Kritikus menilai bahwa Jokowi berupaya memanipulasi hukum untuk keuntungan pribadi dan keluarganya, serta menggunakan lembaga negara untuk mengendalikan lawan politiknya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan demokrasi Indonesia.
Keputusan dan tindakan di atas menambah daftar kebijakan kontroversial yang memicu kekecewaan di kalangan masyarakat selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Selain kebijakan-kebijakan yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa keputusan dan tindakan lain selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang menimbulkan kontroversi dan kekecewaan di kalangan masyarakat:
Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT): Pada tahun akademik 2024-2025, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan Peraturan Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT). Kebijakan ini mengakibatkan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi. Langkah ini menuai kritik karena dianggap memberatkan mahasiswa dan keluarga, terutama di tengah kondisi ekonomi yang menantang.
Iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera): Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang mengubah PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan Tapera. Program ini mewajibkan pekerja untuk menyisihkan 3% dari gaji mereka sebagai iuran Tapera. Meskipun bertujuan membantu masyarakat memiliki rumah, kebijakan ini dikritik karena dianggap menambah beban finansial pekerja dan kurangnya kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana oleh pemerintah.
Perpanjangan Kontrak PT Freeport Indonesia: Pemerintah memperpanjang kontrak PT Freeport Indonesia hingga tahun 2061 melalui PP Nomor 25 Tahun 2024. Meskipun pemerintah meningkatkan kepemilikan saham dari 51% menjadi 61%, keputusan ini menuai kritik karena dianggap memberikan konsesi terlalu lama kepada perusahaan asing dan kurangnya transparansi dalam proses negosiasi.
Pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Organisasi Masyarakat (Ormas): Melalui PP Nomor 25 Tahun 2024, pemerintah mengizinkan Ormas keagamaan untuk memiliki IUPK. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran dari berbagai organisasi lingkungan dan advokasi tambang, yang menilai bahwa pertambangan memerlukan modal dan teknologi tinggi serta berpotensi merusak lingkungan.
Pembukaan Kembali Ekspor Pasir: Pemerintah membuka kembali izin ekspor pasir melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 dan 21 Tahun 2024. Langkah ini dikritik karena dikhawatirkan akan merusak ekosistem laut dan pesisir, serta mengulang kesalahan masa lalu terkait eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan.
Revisi Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN): Pada Oktober 2023, DPR mengesahkan revisi UU IKN yang memberikan berbagai insentif kepada investor, termasuk Hak Guna Usaha (HGU) hingga 190 tahun. Revisi ini dianggap terlalu memanjakan investor dan menimbulkan kekhawatiran terkait kedaulatan serta keberlanjutan proyek IKN.
Reshuffle Kabinet Menjelang Akhir Masa Jabatan: Menjelang akhir masa jabatannya, Presiden Jokowi melakukan perombakan kabinet melalui Perpres Nomor 82 Tahun 2024. Langkah ini dinilai sebagai bentuk kepanikan politik dan menimbulkan spekulasi terkait stabilitas pemerintahan di penghujung masa jabatan.
Wacana Revisi UU untuk Menghidupkan Dwi Fungsi ABRI: Pemerintah mengusulkan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memungkinkan anggota TNI/Polri menduduki jabatan ASN. Usulan ini memicu kekhawatiran akan kembalinya praktik dwi fungsi ABRI seperti pada era Orde Baru, yang dapat mengancam profesionalisme militer dan netralitas birokrasi.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Pemerintah menetapkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% yang akan berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025, sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kenaikan ini dikhawatirkan akan meningkatkan harga barang dan jasa, sehingga memberatkan konsumen dan pelaku usaha.
Kebijakan-kebijakan di atas menambah daftar keputusan kontroversial yang memicu kekecewaan di kalangan masyarakat selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Selain kebijakan-kebijakan yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa keputusan dan tindakan lain di bidang politik dan hukum selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang menimbulkan kontroversi dan kekecewaan di kalangan masyarakat:
Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): Pada tahun 2019, DPR mengesahkan revisi Undang-Undang KPK yang dianggap melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Revisi ini memperkenalkan Dewan Pengawas yang memiliki kewenangan mengawasi dan memberikan izin untuk penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan oleh KPK. Selain itu, perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dinilai dapat mengurangi independensi lembaga tersebut. Langkah ini memicu protes luas dari masyarakat sipil yang khawatir terhadap efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pembubaran Front Pembela Islam (FPI): Pada Desember 2020, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama enam kementerian dan lembaga yang melarang segala aktivitas FPI serta penggunaan simbol-simbolnya. Keputusan ini diambil dengan alasan bahwa FPI sering melakukan tindakan yang melanggar hukum dan mengganggu ketertiban umum. Namun, beberapa pihak menilai pembubaran ini sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan berserikat dan berekspresi.
Penanganan Kasus Penyiraman Air Keras terhadap Novel Baswedan: Novel Baswedan, penyidik senior KPK, mengalami serangan penyiraman air keras pada April 2017. Penanganan kasus ini menuai kritik karena dianggap lamban dan tidak transparan. Meskipun pelaku akhirnya ditangkap dan diadili, hukuman yang dijatuhkan dianggap terlalu ringan, menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat dan pegiat antikorupsi.
Penggunaan Hak Angket oleh DPR terhadap KPK: Pada tahun 2017, DPR mengajukan hak angket terhadap KPK terkait penanganan kasus korupsi KTP Elektronik. Langkah ini dianggap sebagai upaya untuk melemahkan KPK dan mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan. Meskipun hak angket tersebut tidak berlanjut ke tahap pemakzulan, tindakan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap komitmen pemerintah dan DPR dalam mendukung pemberantasan korupsi.
Pelemahan Institusi Demokrasi dan Kembalinya Politik Patronase: Selama masa kepemimpinannya, Presiden Jokowi dikritik karena dianggap melemahkan institusi demokrasi dan menghidupkan kembali praktik politik patronase serta dinasti politik. Kritikus menilai bahwa Jokowi berupaya memanipulasi hukum untuk keuntungan pribadi dan keluarganya, serta menggunakan lembaga negara untuk mengendalikan lawan politiknya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan demokrasi Indonesia.
Keputusan dan tindakan di atas menambah daftar kebijakan kontroversial di bidang politik dan hukum yang memicu kekecewaan di kalangan masyarakat selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Artikel Terkait
Kasus Dugaan Malapraktik RSUD Depati Hamzah: Berkas Dinyatakan P21, Dokter dr. Ratna Setia Asih Tersangka
Mantan Suami Bunuh Mantan Istri di Bandar Lampung Gara-gara Tuduh Selingkuh, Ini Kronologi Lengkapnya
Gempa Magnitudo 3.9 Guncang Mandailing Natal Sumut: BMKG Ungkap Lokasi & Kedalaman
Komisaris Transjakarta Ainul Yaqin Dikecam Publik Jepang, Desak Pemecatan!