MIRIS! Politik, Ijazah, dan Legitimasi: Mengapa Gelar Akademik Masih Dipalsukan?

- Jumat, 14 Maret 2025 | 07:10 WIB
MIRIS! Politik, Ijazah, dan Legitimasi: Mengapa Gelar Akademik Masih Dipalsukan?


MIRIS! Politik, Ijazah, dan Legitimasi: 'Mengapa Gelar Akademik Masih Dipalsukan?'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Dalam sistem demokrasi, politik seharusnya menjadi hak semua individu tanpa memandang latar belakang pendidikan. 


Konstitusi menjamin hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam politik, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon pemimpin. 


Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa latar belakang akademik masih menjadi tolok ukur utama dalam menilai kredibilitas seseorang di dunia politik. 


Hal ini menciptakan fenomena di mana politisi merasa perlu memiliki gelar akademik yang mentereng—terlepas dari apakah mereka benar-benar layak mendapatkannya atau tidak.


Dua kasus yang menjadi sorotan dalam hal ini adalah dugaan penggunaan ijazah palsu oleh Jokowi serta kasus Bahlil Lahadalia yang disertasinya dianulir karena terbukti melakukan plagiarisme. 


Kedua kasus ini mencerminkan bagaimana politik di Indonesia masih sangat bergantung pada simbol akademik, sering kali lebih daripada kompetensi kepemimpinan yang sesungguhnya.


Jokowi dan Dugaan Ijazah Palsu: Mencari Legitimasi atau Menutup Kekurangan?


Isu ijazah palsu Jokowi menjadi perbincangan hangat karena jika benar terjadi, ini bukan hanya masalah administrasi, tetapi juga menyangkut kejujuran seorang pemimpin. 


Jika memang politik adalah hak setiap warga negara dan tidak memerlukan gelar akademik, lalu mengapa ada kebutuhan untuk menyajikan ijazah yang meragukan? 


Apakah karena masyarakat masih menilai pemimpin dari titel akademiknya? 


Ataukah ada kepentingan lain yang membuat Jokowi (atau pihak di belakangnya) merasa perlu menggunakan ijazah yang dipertanyakan keasliannya?


Jika seseorang memiliki kapasitas memimpin, seharusnya latar belakang akademik bukanlah hambatan. 


Justru upaya menyamarkan atau bahkan memalsukan ijazah bisa menunjukkan bahwa kepemimpinan tersebut dibangun di atas kebohongan dan pencitraan semata. 


Ini menjadi pertanyaan besar bagi demokrasi kita: apakah kita lebih menghargai kompetensi atau sekadar formalitas akademik?


Bahlil Lahadalia dan Plagiarisme: Ketika Akademisi Palsu Ingin Berkuasa


Kasus yang lebih baru dan tidak kalah mencoreng dunia akademik adalah pembatalan disertasi Bahlil Lahadalia karena terbukti melakukan plagiarisme. 

Halaman:

Komentar