Sebagai seorang menteri yang sedang dalam radar untuk naik ke posisi lebih tinggi, gelar akademik tentu menjadi nilai tambah dalam persaingan politik.
Namun, alih-alih meraih gelar dengan usaha intelektual yang sah, Bahlil justru terbukti menjiplak karya orang lain.
Plagiarisme adalah bentuk manipulasi intelektual yang mencerminkan mentalitas instan—ingin diakui sebagai intelektual tanpa melalui proses akademik yang sebenarnya.
Jika seorang pejabat tinggi terbukti melakukan kecurangan akademik, bagaimana kita bisa mempercayainya dalam membuat kebijakan yang adil dan transparan?
Lebih jauh lagi, kasus Bahlil menunjukkan bahwa gelar akademik telah menjadi alat politik, bukan lagi simbol intelektualitas.
Seseorang yang sudah memiliki jabatan tinggi tetap merasa perlu memiliki gelar doktor, meski harus mendapatkannya dengan cara tidak jujur.
Ini membuktikan bahwa dunia politik kita masih lebih tertarik pada legitimasi akademik daripada rekam jejak kepemimpinan yang sebenarnya.
Politik Seharusnya Berdasarkan Kapasitas, Bukan Ijazah
Dua kasus ini menunjukkan bahwa banyak politisi di Indonesia masih bergantung pada formalitas akademik untuk memperkuat citra mereka.
Padahal, jika politik benar-benar terbuka bagi siapa saja, seharusnya kejujuran dan integritas lebih diutamakan daripada sekadar gelar akademik.
Dalam sejarah dunia, banyak pemimpin besar yang tidak memiliki gelar tinggi tetapi mampu memimpin dengan bijaksana.
Abraham Lincoln hanya memiliki pendidikan dasar, tetapi ia menjadi salah satu presiden terbaik dalam sejarah Amerika.
Sementara itu, di Indonesia, kita melihat pejabat tinggi seperti Jokowi dan Bahlil yang justru menghadapi kontroversi akademik, menunjukkan bahwa gelar akademik belum tentu mencerminkan kualitas kepemimpinan.
Jika masyarakat masih terjebak dalam mitos bahwa pemimpin harus memiliki gelar tinggi untuk dianggap layak, maka dunia politik kita akan terus dipenuhi dengan pencitraan dan kebohongan akademik.
Yang kita butuhkan bukanlah pemimpin yang memiliki gelar akademik tinggi, tetapi pemimpin yang jujur, kompeten, dan benar-benar bekerja untuk rakyat.
Pada akhirnya, pertanyaan yang harus kita renungkan bukanlah apakah seorang pemimpin memiliki gelar atau tidak, tetapi apakah ia memiliki kapasitas dan integritas untuk memimpin.
Jika seorang pemimpin merasa perlu menutupi identitas akademiknya atau bahkan memanipulasinya, maka yang harus kita curigai bukan hanya ijazahnya, tetapi juga kredibilitas kepemimpinannya secara keseluruhan. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
KPK OTT Gubernur Riau Abdul Wahid: Kronologi, Fakta Terbaru, dan Dampaknya
Ribuan Kader GPA Berikrar Kawal Pemerintahan Prabowo-Gibran & Sukseskan Asta Cita
Fakta Aksi Joget DPR di Sidang Tahunan 2025: Ternyata Ini Penyebab Sebenarnya
Pipa PPR RIIFO Halal & NSF 51: Solusi Air Bersih & Aman untuk Keluarga