Jokowi dan Gibran Diberi Karpet Merah Kekuasaan - Walau Melanggar Konstitusi

- Jumat, 04 April 2025 | 07:10 WIB
Jokowi dan Gibran Diberi Karpet Merah Kekuasaan - Walau Melanggar Konstitusi

Bangsa yang Dungu dan Mudah Ditipu?


Banyak yang berkilah bahwa Gibran dipilih secara demokratis dan sah melalui pemilu. 


Namun, apakah pemilu yang diselenggarakan dalam kondisi aturan yang direkayasa masih bisa disebut demokratis? 


Publik seakan menutup mata terhadap pelanggaran yang terjadi di depan mereka. 


Para pendukung buta bahkan menormalisasi tindakan manipulatif ini dengan dalih “yang penting menang.”


Ketika suatu bangsa rela mengorbankan aturan hanya demi kepentingan kelompok tertentu, maka itu bukan lagi demokrasi, melainkan kleptokrasi yang dikemas dengan jargon populis. 


Bagaimana mungkin rakyat yang sudah melihat jelas pelanggaran hukum tetap diam dan bahkan merayakannya? 


Apakah kita sedang menuju era di mana kebodohan dan ketundukan pada kuasa dianggap sebagai bagian dari nasionalisme?


Sebagaimana yang dikatakan oleh filsuf George Santayana, “Those who cannot remember the past are condemned to repeat it.” 


Jika rakyat terus membiarkan penyimpangan hukum seperti ini terjadi, maka bukan tidak mungkin praktik-praktik serupa akan terus berulang di masa depan.


Dari Ijazah Palsu ke Dinasti Politik


Jokowi, yang sebelumnya juga diterpa isu ijazah palsu, tetap bisa berkuasa tanpa hambatan berarti. 


Kini, anaknya pun menikmati “keistimewaan” serupa, mendapatkan karpet merah meskipun melanggar aturan yang seharusnya menghalanginya. 


Semua ini menunjukkan bahwa ketika kekuasaan telah mengakar terlalu dalam, hukum bukan lagi alat keadilan, tetapi sekadar alat pembenaran.


Mungkin kita memang bangsa yang mudah ditipu. Ketika hukum diinjak-injak, kita hanya bisa mengeluh di warung kopi, di media sosial, atau dalam diskusi kecil, tanpa mampu berbuat lebih. 


Sementara itu, para penguasa semakin pongah, yakin bahwa mereka bisa melakukan apa saja tanpa konsekuensi. 


Jika begini terus, maka jangan heran bila ke depan, politik dinasti semakin merajalela, dan aturan semakin mudah dibengkokkan sesuai selera penguasa.


Apakah ini yang kita inginkan?


***

Halaman:

Komentar