Namun implementasinya di lapangan masih tambal sulam. Banyak guru belum siap karena tidak mendapatkan pelatihan yang memadai.
Di sisi lain, budaya membaca di rumah juga tak cukup kuat. Sebuah riset menunjukkan anak Indonesia lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawai daripada membuka buku.
Abdul Mu’ti menegaskan bahwa solusi atas krisis ini tidak bisa ditunda.
“Literasi bukan hanya urusan sekolah, tapi tanggung jawab bangsa. Kalau kita gagal mendidik generasi yang memahami apa yang mereka baca, kita sedang mencetak rakyat yang mudah dibohongi,” katanya.
Ironis, memang. Tapi siapa yang peduli ironi, jika negeri ini toh lebih sibuk memoles citra ketimbang merawat nalar?
Mari kita tengok istana: Gibran Rakabuming Raka, kini Wakil Presiden Republik Indonesia, naik panggung bukan karena prestasi intelektual, apalagi gagasan.
Ia naik karena garis keturunan. Tentu, ini bukan nepotisme—kita hanya sedang menghargai bibit unggul, katanya.
Putra sulung Jokowi itu bahkan terang-terangan mengatakan tidak suka membaca. Bahkan saat menjadi walikota, urusan riset dan bacaan tebal bukan prioritasnya.
Ia lebih suka blusukan digital lewat TikTok dan branding gaya muda—karena siapa butuh isi jika kulit sudah cukup menarik?
Ayahnya, Presiden Joko Widodo, juga bukan dikenal karena keintiman dengan buku.
Ia pernah menjelaskan bahwa dalam mengambil keputusan, ia lebih mengandalkan feeling ketimbang literatur.
Mungkin itu pula sebabnya proyek-proyek besar seperti IKN digenjot tanpa telaah matang. Karena membaca laporan itu berat, lebih baik mendengar bisikan lingkaran dalam.
Kini negeri ini dipimpin oleh mereka yang tak suka membaca, sedang rakyatnya hanya bisa membaca tanpa mengerti.
Kombinasi sempurna untuk mencetak generasi yang mudah diarahkan, cukup diberi slogan dan tontonan.
Pendidikan jadi ritual tahunan, bukan pembebasan. Kurikulum berubah tiap ganti menteri, murid dan guru kebingungan, tapi tak pernah ada pertanyaan: Mengapa kita tak bertumbuh secara kritis?
“Indonesia darurat literasi!” seru para pengamat. Tapi suara itu tenggelam di antara deru anggaran pembangunan IKN dan selebrasi 17-an Rp 87 miliar. Toh, membaca itu tidak menghasilkan elektabilitas. Yang penting visual, bukan verbal.
Mungkin di masa depan, kita tidak perlu sekolah. Cukup ikut kursus jadi viral, hafal jargon, dan siapkan koneksi ke istana.
Maka kelak anak-anak kita bukan hanya bisa membaca tanpa paham, tapi juga bisa memimpin tanpa tahu arah. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Prabowo Buktikan Komitmen Anti-Korupsi: Rp13,25 Triliun Kerugian Negara CPO Dikembalikan
Misteri 2 Kerangka di Gedung ACC Kwitang Terbakar: Suara Rintihan Minta Tolong hingga Dugaan Korban Demo
Ahmad Sahroni Ungkap Detik-detik Sembunyi di Plafon Saat Rumahnya Dijarah Massa
Cak Imin Dituding Retorika Murahan Soal Alfamart & Indomaret, Benarkah Ritel Raksasa Bunuh UMKM?