Konsekuensi Jokowi Sang Machiavellis Sejati

- Selasa, 20 Mei 2025 | 06:30 WIB
Konsekuensi Jokowi Sang Machiavellis Sejati


'Konsekuensi Jokowi Sang Machiavellis Sejati'


Oleh: Irfan Wahidi


Di atas panggung kekuasaan, tak semua aktor tampil dengan jubah kesatria. Sebagian datang dengan wajah polos dan tutur lembut, namun menyembunyikan skenario besar untuk menguasai panggung sepenuhnya. 


Jokowi, pria yang memulai karier politiknya dari Solo dengan baju kotak-kotak dan janji kesederhanaan, lambat laun menjelma menjadi tokoh sentral dalam politik Indonesia yang penuh intrik. 


Seiring waktu, semakin tampak bahwa yang bersangkutan bukan sekadar “rakyat biasa” yang naik takhta, melainkan seorang Machiavellis sejati yang tahu cara merawat dan memperluas kekuasaan dengan segala cara—legal maupun manipulatif.


Jokowi dan Machiavelli: Cermin yang Saling Memantulkan

Niccolò Machiavelli dalam Il Principe (Sang Pangeran) menulis, “It is better to be feared than loved, if you cannot be both.” 


Kalimat ini seolah merasuki setiap langkah politik Jokowi di periode kedua pemerintahannya, terutama ketika mulai menggiring konstitusi, memaksa penyesuaian hukum, meminggirkan oposisi, serta menempatkan anggota keluarganya ke dalam struktur kekuasaan nasional dan daerah.


Dalam logika Machiavellistik, kekuasaan tak boleh diserahkan pada angin takdir; ia harus dikendalikan, dijinakkan, bahkan dibungkam bila perlu.


Dan Jokowi melakukannya dengan sangat efektif: dari penguasaan parlemen, kooptasi KPK, pembiaran politisasi hukum, hingga ‘mengawinkan’ kekuasaan dengan dinasti. 


Seakan seluruh alat negara hanya punya satu tujuan: memastikan warisan politik Jokowi langgeng—walau dengan mengorbankan roh reformasi dan nilai-nilai demokrasi.


Namun sejarah kekuasaan tak berhenti di masa jaya. Ia selalu bergerak, dan ketika poros kekuasaan bergeser, mereka yang terlalu nyaman di puncak akan merasakan dinginnya angin pertanggungjawaban. 


Seorang Machiavellis yang kehilangan kekuasaan tidak pernah pensiun dalam damai. Yang tersisa biasanya hanya paranoia, pengadilan, dan stigma sejarah.


Konsekuensi yang Mengintai: Dari Napoleon Hingga Marcos

Sejarah penuh dengan tokoh-tokoh kuat yang seperti Jokowi, berhasil menundukkan sistem, tapi gagal melampaui masa pensiunnya dengan kehormatan. 


Napoleon Bonaparte yang menguasai hampir seluruh Eropa, akhirnya dibuang ke Pulau Saint Helena. 


Ferdinand Marcos yang membangun dinasti dan memanipulasi hukum Filipina, akhirnya diusir dan mati di pengasingan. 


Bahkan Suharto, diktator terlama Indonesia, akhirnya tumbang dan menghadapi tekanan hukum serta kemarahan publik yang tak kunjung padam.


Jika jejak langkah Jokowi terus mengikuti pola yang sama—mengamankan kekuasaan dengan cara-cara non-demokratis dan memperkuat dinasti politik keluarga—maka potensi konsekuensinya sangat nyata dan bahkan mungkin tak terhindarkan. Berikut beberapa di antaranya:


1. Pengadilan dan Pengasingan Politik

Halaman:

Komentar