PARADAPOS.COM - Salah satu kader PKB, Umar Hasibuan memberi respon terkait jawaban Jokowi Widodo soal isu Ijazah Palsu.
Sebelumnya, Jokowi mengaku sempat merasa sedih jika isu ijazah palsu ini maju lagi ke tahapan hukum berikutnya.
“Sebetulnya saya ini merasa sedih jika kasus ijazah palsu ini maju lagi ke tahapan berikutnya,” kata Jokowi.
“Saya kasihan tapi inikan sudah keterlaluan, jadi kita tunggu proses hukum,” sebutnya.
Merespon hal ini, Umar Hasibuan melalui cuitan di akun media sosial X pribadinya memberi pernyataan keras.
Ia mengingatkan peninggalan berat Jokowi yang di Pemerintahan setelah menjabat selama 10 tahun lebih.
Mulai dari utang negara hingga proyek-proyek mangkrak bahkan gagal yang tidak menjadi apa-apa.
“Apa anda Gak pernah kasihan 10 thn jd presiden ninggalkan ribuan trilyun utang,” tulisnya dikutip Rabu (21/5/2025).
Umar pun mempertanyakan rasa kasihan Jokowi dengan beberapa tindakan lainnya selama dua periode menjabat itu.
“Dan rakyat yg bayar dan anda pernah kasihan gak lihat KPK hancur, konstitusi diubah dan IKN mangkrak?” terangnya.
👇👇
Apa anda Gak pernah kasihan 10 thn jd presiden ninggalkan ribuan trilyun utang dan rakyat yg bayar dan anda pernah kasihan gak lihat KPK hancur, konstitusi diubah dan IKN mangkrak? pic.twitter.com/jrqRqRH7Fs
Kondisi perekonomian Indonesia saat ini mendapat sorotan tajam setelah Bank Dunia merilis data terbaru yang menyebutkan bahwa 60,3% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.
Angka ini mencengangkan, setara dengan sekitar 172 juta jiwa dari total populasi Indonesia yang diperkirakan mencapai 285 juta orang pada 2025.
Temuan ini kontras dengan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), yang dalam beberapa tahun terakhir menyebut tingkat kemiskinan Indonesia berada di angka 9%.
Perbedaan mencolok inilah yang menjadi sorotan utama dalam perbincangan publik dan kalangan akademisi.
Mereka mengungkapkan bahwa perbedaan standar pengukuran antara pemerintah Indonesia dan Bank Dunia menjadi akar ketimpangan angka ini.
Dalam berbagai parameter statistik, Indonesia cukup kreatif dengan mengeluarkan ukuran-ukuran sendiri, padahal standar dunia sudah ada.
“Memang dalam berbagai parameter statistik, Indonesia cukup kreatif dengan mengeluarkan ukuran-ukuran sendiri, padahal standar dunia sudah ada,” kata Wijayanto Samirin, Ekonom Universitas Paramadina Jakarta dikuti dari channel Youtube Hersubeno, Rabu 30 April 2025.
Sementara, indeks demokrasi, kebebasan pers, korupsi, hingga lingkungan hidup semuanya pemerintah buat versi sendiri. Termasuk soal kemiskinan.
Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan berbasis pendapatan harian.
Untuk kategori lower middle income (pendapatan menengah bawah), standar yang digunakan adalah USD 3,65 per kapita per hari.
Namun, sejak Indonesia resmi masuk kategori upper middle income, standar tersebut naik menjadi USD 6,85 per kapita per hari.
Konversi kasar dengan kurs Rp16.800/USD menunjukkan standar baru ini setara dengan sekitar Rp114.960 per orang per hari, naik signifikan dari standar sebelumnya.
Dengan standar inilah Bank Dunia menghitung bahwa lebih dari separuh penduduk Indonesia masih hidup dalam kemiskinan.
Sebaliknya, BPS masih menggunakan standar yang lebih rendah dari USD 3,65, sehingga menghasilkan angka kemiskinan nasional yang lebih kecil, yakni 9%.
Jika menggunakan standar USD 3,65 saja, angka kemiskinan Indonesia itu 15,9%, jauh di atas angka resmi BPS.
Artinya, standar BPS memang lebih rendah daripada standar internasional manapun.
Penggunaan standar pengukuran yang tidak sesuai dapat menyesatkan dalam pengambilan kebijakan.
Jika datanya tidak valid, ada kecenderungan kebijakan yang dihasilkan juga tidak tepat sasaran.
Kita berpikir bahwa semua orang sudah sejahtera, padahal masih banyak yang hidup susah.
Kecenderungan pemerintah untuk menampilkan angka-angka yang tampak baik, demi citra positif di mata rakyat dan dunia internasional, hanya memberi kesan lebih indah dari warna aslinya.
Sementara, klaim Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2023, bahwa rasio biaya logistik terhadap PDB (logistics cost to GDP) berhasil ditekan dari 24% menjadi 14% selama 10 tahun pemerintahan.
Namun, setelah ditelusuri, ternyata angka 24% memakai data World Bank, sedangkan angka 14% pakai data Bappenas yang tidak memasukkan biaya logistik ekspor-impor.
“Setelah ditelusuri, ternyata angka 24% memakai data World Bank, sedangkan angka 14% pakai data Bappenas yang tidak memasukkan biaya logistik ekspor-impor. Jadi, membandingkan dua data yang cara hitungnya berbeda,” ujar Wijayanto Samirin.
Jadi, jelas itu membandingkan dua data yang cara hitungnya berbeda.
Sebut saja contoh, bagaimana permainan angka bisa membuat realitas tampak lebih baik dari kondisi sebenarnya.
Artikel Terkait
Gilang Berduka: Bulan Madu Berujung Maut, Jenazah Istri, Cindy, Dimakamkan di Mana?
VIDEO CALL SEKS DI BALIK PERASAN Rp 1,6 MILYAR KE PENGUSAHA SAWIT RIAU
Haru! Azan Pertama Berkumandang di Gaza Usai Gencatan Senjata Hamas-Israel, Suasana Damai Menyentuh Hati
Video Terakhir Cindy Istri Gilang Kurniawan: Anjay Nikah Sebelum Tewas Saat Honeymoon