The Last Samurai Dari Istana: Ketika Buzzer Berpaling, Ngabalin dan Irma Tetap Berdiri!
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Di negeri yang katanya demokratis ini, buzzer adalah profesi yang lebih langgeng dari jabatan menteri.
Mereka muncul seperti jamur di musim hujan—dan seperti jamur juga, sebagian bikin mual. Tapi di era Presiden Joko Widodo, buzzer bukan sekadar jamur liar.
Mereka ditanam, dipupuk, bahkan disiram dengan air panas dari medsos, agar tumbuh subur dan siap menyerang siapa pun yang mengkritik pemerintah, bahkan kalau perlu, menyerang logika.
Kita masih ingat bagaimana nama-nama seperti Denny Siregar, Abu Janda, Eko Kuntadhi, dan yang sebaris dengan mereka pernah berdiri di garda depan benteng digital Istana. Mereka tidak pakai pedang atau tombak.
Cukup Twitter, Facebook, dan logika jungkir balik. Setiap serangan terhadap pemerintah dibalas dengan narasi tandingan yang kadang lebih cocok masuk rubrik humor daripada opini politik.
Namun, waktu berjalan. Kekuasaan seperti cinta di sinetron: manis di awal, getir di belakang.
Ketika Jokowi mulai hilang pesonanya—dan lebih sibuk memoles anak-anaknya ketimbang membenahi demokrasi—para buzzer peliharaan satu per satu menggigit tangan yang dulu memberi makan.
Denny mulai galak, Abu Janda seperti kehilangan sinyal, dan sisanya memilih pensiun dini dari panggung medsos. Ada yang tobat, ada yang insaf, dan ada juga yang mungkin cuma ganti majikan.
Namun dari reruntuhan pertempuran digital itu, berdirilah dua samurai tua, dua pendekar terakhir yang tak gentar walau istana makin sepi: Ali Mochtar Ngabalin dan Irma Suryani Chaniago.
Artikel Terkait
Roy Suryo: 99,9% Akun Kaskus Fufufafa Milik Gibran, Klaim 3.000 Ujaran Kebencian
Banjir Jakarta 2025: Penyebab & Kritik untuk Pramono Anung
Dukung Bareskrim! IPW Soroti Kerugian Negara Rp 1,08 Triliun dari Tambang Emas Ilegal di Lombok
Strategi Partai Perindo Dongkrak 130 Juta Warga Naik Kelas Ekonomi