Ciri Kenabian dan Seseorang Yang Terlalu Biasa Saja Bahkan di Bawah Rata-Rata

- Kamis, 12 Juni 2025 | 15:05 WIB
Ciri Kenabian dan Seseorang Yang Terlalu Biasa Saja Bahkan di Bawah Rata-Rata

Sayangnya, ia terlalu biasa — bahkan mungkin di bawah rata-rata. Ia tak shidiq, karena jujurnya masih hilang di pengadilan. 


Ia tak fathonah, karena tak suka membaca. Ia tak amanah, karena kekuasaan ditukar dengan kekeluargaan. 


Ia pun tak tabligh, karena suara kepemimpinannya tenggelam oleh kata-kata yang tak pernah mampu mengedukasi siapa pun.


Ia bukan nabi, tentu saja. Tapi ia pun gagal menjadi pemimpin yang sekadar bisa dipercaya.


Mengkultuskan Jokowi sebagai Nabi: Membakar Dupa di Atas Jerami Kering!


Kultus individu, sebagaimana kata Hannah Arendt, adalah jalan pintas menuju kehancuran politik. 


Ketika seorang pemimpin mulai dikemas laksana nabi oleh para pengikutnya, ia bukan hanya kehilangan pijakan nalar, tetapi juga sedang diarahkan menuju altar penghakiman. 


Jika yang melakukannya adalah kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI)—partai anak muda yang konon menjunjung rasionalitas dan meritokrasi—maka itu bukan sekadar ironi, melainkan semacam sabotase diam-diam. 


Dalam bahasa yang lebih tajam: mereka sedang memancang Jokowi di satu tempat, menyiapkan dirinya untuk dirajam ramai-ramai.


Pujian berlebihan bisa menjadi hukuman yang paling kejam. Saat PSI atau siapa pun mulai mengidentikkan Jokowi dengan figur kenabian, maka publik justru akan menuntut standar moral dan kesucian yang sama. 


Dan publik tahu, Jokowi bukan nabi. Ia adalah manusia biasa yang kini tengah dibelit banyak perkara. 


Mulai dari tuduhan ijazah palsu yang tak kunjung padam, hingga skandal tambang nikel yang disebut-sebut digadaikan murah ke perusahaan-perusahaan Cina.


Belum cukup, bayang-bayang pemakzulan atas putranya, Gibran Rakabuming Raka, juga terus bergelayut. 


Masih lekat dalam ingatan bagaimana Mahkamah Konstitusi dijadikan tangga oleh sang anak, dan kini sedang ditarik ke bawah oleh gelombang protes moral yang tak surut.


Dalam politik, semua bisa berubah dalam sekejap. Popularitas bisa menjadi kutukan. Hari ini dielu-elukan, esok bisa jadi bahan bakar amarah massa. 


Ini ibarat bola panas yang tak bisa diprediksi jalurnya. Ketika terlalu banyak tangan ikut mengarahkan arah pantulan bola itu, maka benturan dan luka menjadi keniscayaan.


Jokowi, dalam banyak hal, telah berhasil menempatkan dirinya sebagai pemimpin yang punya daya magis di mata rakyat. Tetapi politik tidak bekerja dengan sihir. Ia bekerja dengan realitas.


Dan realitas hari ini menunjukkan bahwa beban di pundak Jokowi semakin berat. Ia tak hanya menanggung masa lalunya, tapi juga masa depan dinastinya.


PSI seharusnya tahu diri. Mengelu-elukan Jokowi bukan hanya mengabaikan etika politik, tapi juga mengkhianati akal sehat publik. 


Rakyat butuh pemimpin yang bisa dikritik, bukan yang dikultuskan. 


Karena dari pemujaan yang berlebihan, hanya ada dua kemungkinan: jatuh yang menyakitkan atau kemarahan yang membabi buta.


Dan kasihan Jokowi, jika akhirnya ia jatuh bukan karena lawan politiknya, tapi oleh para pengagumnya sendiri. ***


Sumber: FusilatNews

Halaman:

Komentar